Biografi Singkat Abu Nuwas
Biografi Singkat Abu Nuwas
Kisah
Abu-Nuwas
al-Hasan bin Hani al-Hakami (750-810),
biasanya dikenal sebagai Abū-Nawās atau Abū-Nuwās (Bahasa Arab:ابونواس),
adalah seorang pujangga Arab. Dia dilahirkan di kota
Ahvaz di negeri Persia, dengan
darah Arab
and Persia
mengalir di tubuhnya.
Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra
Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu
Satu Malam.
Dia dilahirkan
pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz
di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan
ibu Persia
mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer
Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci
kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah,
Irak. Di kota
inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya
penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang
unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat
dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu
Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga
belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia
belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said
al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari
Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak
kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian
membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di
Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di
pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan
memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia
pindah ke Baghdad.
Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair.
Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para
bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah
puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat
penguasa.
Dalam Al-Wasith
fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka
sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang
dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka
bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian
Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas
dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).
Sikapnya yang
jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya
bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda
tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga
pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas
membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu
saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari
Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga
Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah
puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali
lagi ke Baghdad
setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam
di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia
sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia
lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang,
pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat.
Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai
ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju
Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup
dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang
justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang
sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu
Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal
itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal
yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun
meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada
pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M
dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang
yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia
dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad. Berikut salah satu kisah
Jenaka Abu Nawas.
Demi Tata Krama Kepada Raja
Konon di Zaman
Raja Harun Al Rasyid dulu tidak ada yang namanya WC, yang ada cuma sungai atau
kali untuk buang hajat. Suatu ketika sang raja merasa perutnya sedang sakit,
dan sudah tidak bisa lagi untuk diajak kompromi. Seketika itu juga raja meminta
para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.
Kebetulan sungai disitu mengalir ke arah selatan. Dan Sudah masyhur
di kalangan masyarakat , jika sang raja sedang buag hajat di sungai, maka
rakyat dilarang keras berak di sebelah utaranya raja, karena di khawatirkan
kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang raja.
Dan kalau ada yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang
raja.
Namun kali ini,
peraturan tersebut tidak di indahkan oleh sang tokoh kocak Abu Nawas, Abu
Nawas dengan santainya juga ikut berak di sebelah utara agak jauh dari posisi
sang raja, sehingga sang raja tidak melihatnya. Disaat asyik buang hajat, tiba
– tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat sang raja, tanpa berpikir
panjang, benda tersebut langsung dipegang dan dilihat oleh sang raja, alangkah
terkejutnya, ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia. kontan saja hal
itu membuat sang raja naik pitam. seketika itu juga raja menyuruh para
pengawalnya untuk menelusuri sungai di sebelah utara,dan menangkap orang
yang berak . Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi
sang raja, terlihat sosok abu nawas sedang berak dengan santainya. Saat itu
juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya ke hadapan raja untuk di
hukum.
Sumber : Wikipedia
Comments