Cerpen

"Ada apa?" tanya Nia keheranan, "Oh,
kamu menyindirku ya?, karena aku kepagian lebih dari setengah jam? Sorri,
soalnya daerahku itu 'kan
susah dapat angkot, jadinya aku keluar lebih awal, tahunya hari ini
gampang!"
Andre tersenyum, "Ngak, aku ngak
nyindir kamu, aku betul-betul naya, ada perlu apa kamu ke sini?".
"Gimana kuliahmu?"
"Apa?", "Kuliahmu!?" "Aku ngak lulus dua mata
kuliah!" Andre menunduk, ada suatu rasa malu juga ketika dia menyebutkan
itu.
Kamu
ingat nilai-nilai kamu di tingkat I dulu, dan bagaimana pujian guru-guru selalu
dilayangkan padamu semasa SMU dulu?". "Aku ngak pingin membahas
masalah itu, Nia".
"Bagaimana kamu harus menghadapi
masalah itu, Andre!".
"Ya tapi semuanya telah menjadi
begitu rumit, dan itulah yang ingin aku pecahkan sekarang ini. Perhatian dari
staf dan umat yang sangat kurang, pihak yayasan, belum lagi senior-senior yang
turut campur, padahal mereka sendiri kurasa belum tentu mengerti betul
bagaimana kondisi Vihara sekarang. Belum lagi...", Andre terhenti, tak
tahu lagi apa yang ingin dikatakannya.
"Belum lagi ? Ah...tak tahulah
!"
Suasana hening sejenak, "Kapan
terakhir kamu minta bantuan ?"
Andre mengingat-ingat, "Hari minggu
kemarin, ketika aku minta Hedy untuk mengkoordinir umat yang mau main basket
!" Nia tersenyum, "Itu bukan minta bantuan, itu kan memang tugasnya dia sebagai koordinator
Olahraga!"
"Oh..dua hari yang lalu ketika
kuminta Nancy untuk mengetikkan surat..." Andre tidak
melanjutkan kalimatnya.
"Kamu berubah banyak, Andre. Mana
sistem pembagian waktumu yang bagus itu, ketika kamu berhasil memimpin OSIS
tanpa menanggalkan gelarmu sebagai siswa dengan nilai terbaik di sekolah
kita?"
Suasana hening kembali, "Kurasa
kesalahanmu cuma satu, kamu begitu ingin memajukan Viharamu dan Agama Buddha.
Itu memang suatu hal yang sangat indah dan terpuji, tapi caramu salah, bukan
dengan mengorbankan dirimu habis-habisan begitu. Mereka juga perlu belajar
bertanggung jawab. Disitulah perananmu, arahkan mereka, dan tak perlu sungkan
untuk menegur mereka!" "Kenapa kamu begitu perhatian padaku, Nia?
Apakah ...?"
"Kamu sahabatku. Betapapun jeleknya
kamu, apapun agamamu, yang jelas kita telah bersahabat sejak SMU, dan itu yang
ingin aku jalani!"
Untuk kesekian kalinya, suasana hening
kembali tercipta, "Kupikir senior-seniormu juga mesti berpikiran seperti
ini, tidak hanya mengkritik saja, tetapi juga berusaha untuk melihat kondisi di
dalamnya. Staf-staf kamu juga, kalau mereka benar-benar peduli dan sadar akan
komitmennya, semoga lambat laun mereka bisa menempatkan diri secara
tepat."
Andre tersenyum masam,
"Tapi...bagaimana aku bisa memulai itu semua?" Nia mengangkat
bahunya, "Mungkin kamu bisa menuliskan percakapan kita ini menjadi sebuah
cerpen sebagai permulaan!"
Andre berpikir sejenak, lalu
mengangguk-angguk sendiri dan berkata, "Terima kasih, Nia!" Nia cuma
bisa mengangguk.
Tiba-tiba mereka dikejutkan suara Paulus,
"Aduh, maaf aku terlambat hampir 10 menit, tadi dompetku ketinggalan, jadi
aku harus kembali untuk mengambilnya dan..."
Andre mengusap air matanya yang tanpa
sadar telah merebak tadi, "Masuklah dulu, Paul! Aku telepon teman dulu,
t'rus ganti baju, dan kita segera berangkat, Oce?"
Paulus cuma terheran-heran, "Apa aku
ketinggalan sesuatu?" Nia tersenyum, "Ya, jelas, sebuah cerita
indah!"
Comments