Cinta Pertama
Cinta Pertama
Embun pagi masih merayapi batang daun yang
hijau, matahari bersembunyi di balik awan. Namun aku sudah berdiri menatap
langit yang masih putih. Hari ini terasa aneh bagiku, biasanya saat ini aku
masih terlelap di atas kasur. Tapi karena mata tak bisa terpejam, memaksaku
untuk mencari udara segar, menghilangkan rasa gelisah yang selalu menderaku.
Aku gelisah karena rindu. Rindu akan
rumah, rindu pada keluarga di kampung, terutama rindu padanya. Aku kuliah di
kota dan meninggalkan mereka di sana. Ingin sekali aku berjumpa dengannya. Dia
yang telah mengisi relung hatiku selama tujuh tahun.
Di bawah pohon depan kost aku duduk santai
sambil menikmati cuaca dingin di pagi hari. Di mana orang-orang masih enggan
melepas mimpi indah, apalagi ini ‘kan baru pukul empat, mana ada yang terjaga
sepertiku.
Dengan ditemani cappuccino hangat aku
terhanyut dalam khayalan yang berisi kenanganku bersamanya. Orang yang pertama
kali singgah di hatiku dan mungkin akan menjadi yang terakhir. Dia dua tahun
lebih tua dariku. Kami bertemu saat aku masih duduk di bangku SMP. Kami selalu
pulang bareng karena rumah kami berdekatan. Awalnya aku tak ada rasa dengannya,
tapi karena kami sering berjumpa di rumah maupun di sekolah membuat rasa ini
muncul. Kedekatan kami pun juga karena ayahnya adalah orang bawahan ayahku.
Waktu itu aku masuk ke SMA yang berbeda
dengannya, namun setelah tiga bulan, aku tak betah. Kemudian ayahku menyuruh
memasukkanku ke sekolah yang sama dengannya. Ia menjadi senang karena kami bisa
satu sekolah lagi. Dan kami pun menjadi tambah dekat. Lalu lama-kelamaan
hubunganku ini diketahui oleh ayahku. Dia sangat marah. Memang ayah tidak
setuju kalau sampai aku menyukainya. Ketika mendengar kabar dari sekolah bahwa
kami sering berduaan, ayah lalu menyuruh orang bayaran untuk memberi pelajaran
padanya. Tapi hal itu tak membuat ia berhenti menemuiku. Kami pun bertemu
secara diam-diam.
Suara gema adzan membawaku kembali ke alam
nyata.
Huuh… Aku ingin sekali bertemu dengannya.
Tapi kenapa ia tidak datang, padahal ia sudah janji akan datang Sabtu kemarin.
Apa yang terjadi dengannya?
***
“Lyza…
Lyza!” aku mendengar orang memanggilku.
“Yola…ada apa?”
ternyata cewek tambun yang se-kost denganku datang dengan nafas terengah-engah.
“Lyz…eng…itu
aku mau bilang..itu…Ibumu sakit!”
“Apa?
Masak iya, tahu dari mana?” aku langsung terkejut mendengar Ibuku sakit.
“Dari
kampung, ada yang menelponku. Ng…kita ke kampung sekarang!” perintahnya.
“Aneh,
kok gak ada yang beritahu aku?”
“Udahlah,
pokoknya kita ke kampung sekarang.” Tanpa menunggu jawabanku, Yola langsung
menarikku pulang. Lalu kami pun bergegas ke kampung.
***
Setibanya di kampung, aku merasakan suatu
keganjilan di rumah pacarku. Kenapa berdiri sebuah tenda biru? Kebetulan aku
dan Yola lewat depan rumah pacarku dan melihatnya di depan teras. Sewaktu ia
melihatku, ia langsung lari masuk ke dalam rumah. Hatiku bertanya-tanya kenapa
ia aneh begitu.
Sebelum tiba di rumah aku bertemu dengan
Ibu pacarku di jalan. Aku pun langsung bertanya padanya, ada acara apa di
rumahnya. Ibunya langsung menceritakan semuanya dan tanpa disadari aku
menangis. Tiba-tiba pacarku datang dari arah belakang. Dia meminta maaf
kepadaku, dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga bilang kalau ia
sangat mencintaiku. Kemudian di depan kedua orang tuanya kami berpelukan dan
sama-sama menangisi akhir dari kisah kami.
Sesampainya di rumah aku langsung
marah-marah tak karuan. Kedua orang-tuaku heran melihatku bertingkah aneh
seperti itu. Yola lalu memberitahu mereka kejadian yang memang sudah ia ketahui
sebelumnya. Orang-tuaku pun menasehatiku untuk mencari pasangan yang lebih
sepadan dan lebih setia. Aku sangat tidak bisa menerima keputusannya itu.
Aku kembali lagi ke kota setelah
mengetahui ternyata Ibuku baik-baik saja. Semenjak itu aku menjadi bertambah
aneh, emosiku sering tak terkendali, setiap melihat sesuatu yang tajam, durian
misalnya, ingin sekali kutancapkan ke kepalaku. Teman-temanku
pun merasa risih atas sikapku, karena setiap teman laki-laki mereka ke kost aku
selalu memarah-marahi mereka tanpa sebab. Pernah teman-temanku mengikatku
dengan selimut di kursi karna aku mengamuk dan ingin bunuh diri.
Suatu ketika ada seorang pria yang bekerja
di rumah sakit jiwa di sekitar kost, dia teman dari salah satu temanku. Dia
melihatku membentak-bentak temanku tanpa alasan, sikapku itu sudah dimaklumi
teman-temanku yang lain. Dan ketika aku membanting pintu, ia terkejut dan
bertanya ada apa dengan gadis yang menarik perhatiannya.
Setelah mengetahui apa masalahku, ia pun
menemuiku. Aku marah dengan kehadirannya yang tanpa izin. Lalu pria itu
menyembur mukaku dengan air, dia kira aku kesurupan. Tapi ketika ia salah
paham, lantas ia tertawa. Kemudian ia menarik tanganku, mengajakku duduk di
teras. Tiba-tiba saja aku mengeluarkan semua masalah yang membebani hatiku dan
aku menangis sejadi-jadinya di depan orang yang baru kukenal. Setelah selesai
bercerita, ia menyuruhku mandi bersihkan diri lalu
mengajakku makan bakso di sekitar situ. Entah mengapa kalau berada di
sampingnya hatiku tenang sekali dan kehadirannya itu membuatku melupakan segala
masalahku.
Seminggu kemudian di mana aku sudah
kembali normal, aku mendapat kabar kalau mantan pacarku akan segera menikah.
“Lho, Lyza kok gak dapat undangannya,” tanyaku
pada Yola.
“Dia
gak mau ngasih tahu kamu, Lyz. Takutnya kamu ngedrop lagi.” Namun Randi, pria
yang minggu lalu menenangkanku malah mengajakku ke sana.
“Gak
ah mas, malas bolak-balik ke sana.”
“Kenapa,
takut? Katanya gak ada rasa lagi.” Karena itu aku terpaksa pergi pada esoknya
ke pesta pernikahannya Dicky.
***
Di pesta pernikahannya itu, aku sudah bisa
membiasakan hatiku untuk melepasnya. Saat aku bersalaman dengannya, ia
menangis. Lalu ia melihat mas Randi dan menyuruhnya untuk menjagaku serta
jangan pernah menyakitiku. Sebenarnya aku masih sangat mencintainya. Tapi kami
tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya. Karena sesuatu yang membuatnya
terpaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya sama sekali.
Ayahku-lah yang sangat tidak menyukai
hubungan kami. Waktu kak Dicky tak bisa menemuiku pada hari Sabtu, ayah
menjumpainya dan keluarganya tanpa sepengetahuanku. Ayah memaki-makinya dan
memarahi ayahnya. Ayah mengatakan kalau mereka tak pantas. Ayah sangat
menghargai statusnya yang lebih tinggi dari ayahnya. Karena sakit hati
orangtuanya lalu mencarikan jodoh yang lain untuknya.
Aku pun mengerti keadaan yang harus
kuterima. Dan untuk melupakannya ku serahkan kembali semua yang pernah ia
berikan padaku termasuk puisi-puisinya. Itulah mengapa istrinya heran dan
bertanya kepadaku hadiah apa yang telah kuberikan kepadanya sehingga istrinya
tidak boleh membukanya. Lalu masalah itu kuselesaikan dengan segera. Kutemui ia
lalu menyuruhnya untuk memperlihatkan hadiah dariku pada istrinya.
“Untuk apa disembunyikan, lihatkanlah
hadiah itu pada istri kakak biar dia tenang, adek gak mau ada masalah lagi di
antara kita.” Dengan berat hati ia perlihatkan sebuah kotak musik,
kalung dan sebagainya pada istrinya.
Semenjak itu aku jarang bertemu dengannya,
tapi kami masih berkomunikasi seperti biasa dalam jarak jauh, hingga sekarang.
Semoga Bermanfaat
^_^
^_^
Comments