KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA



KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

 

 


 

1.   Sang Proklamator Mohammad Hatta

            Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
            Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
            Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
      Masa Studi di Negeri Belanda
            Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
            Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
            Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
            Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
            Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.
            PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
            Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.
            Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
            Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
            Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
            Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
            Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
            Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
            Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.


Masa Pembuangan
            Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

2.   Proklamasi
            Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

            Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
            Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
            Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
            Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

3.   Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
            Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
            Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
            Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
            Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
            Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

4.   Periode Tahun 1950-1956
            Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
            Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
            Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.
            Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
            Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
            Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
            Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

5.   Refleksi 66 Tahun Kemerdekaan RI

            Esok pagi, 17 Agustus 2011, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-66. Kita ingin menekankan di sini, perayaan kemerdekaan kali ini mestinya tidak menjadi suatu peringatan yang seremonial saja. Sering kali, rutinitas tahunan seperti ini memang mudah terjebak dalam hal-hal yang sifatnya seremonial dan membenamkan substansi-substansi reflektif atas peristiwa itu. Peringatan Kemerdekaan sudah terlalu sering hanya diasosiasikan dengan kemeriahan lomba balap karung, upacara, paskibra, atau simbolisasi lagu-lagu perjuangan.
            Tidak ada salahnya, menjelang peringatan 66 Tahun Proklamasi, kita memaknai kembali arti kemerdekaan. Memaknai di sini bukan berarti sekadar membeberkan hal-hal simbolik tentang kemerdekaan. Lebih dari itu, kita berharap dapat menemukan suatu rumusan moral imperatif yang sejalan dengan situasi bangsa saat ini, dan menjadi pendorong yang menginspirasi seluruh warga untuk bergerak menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Hal itu penting, karena bagi sebagian besar generasi muda, makna kemerdekaan boleh jadi hanya samar-samar.



            Cobalah kita cermati pembahasan di kalangan generasi yang lahir setelah tahun 1970-an tentang acara tirakatan yang sudah menjadi tradisi pada setiap malam 17 Agustus. Kebanyakan akan bersikap acuh, dan sebagian lagi mungkin lebih tertarik pada kemeriahan organ tunggal campursari atau dangdut. Bagi sebagian besar generasi tersebut, peringatan semacam itu bukan berarti sebuah selebrasi yang punya nilai mendalam. Perayaan kemerdekaan menjadi tidak jauh dari sekadar hura-hura hajatan.
            Meskipun telah merdeka selama 66 tahun, Indonesia masih jauh dari cita-cita yang telah digariskan oleh pendiri bangsa. Mayoritas rakyat Indonesia masih belum menikmati kemerdekaan yang hakiki karena terbelenggu ”penjajah” berupa kemiskinan, ketidakadilan, dan korupsi. Di bidang ekonomi dan perdagangan misalnya, rakyat Indonesia kini hanya dijadikan pasar bagi produk-produk asing. Parahnya lagi, serbuan produk asing bukan hanya berasal dari sektor manufaktur, tetapi juga hampir semua sektor, termasuk pertanian.
            Dapat dikatakan, bangsa dan negara Indonesia kini berada pada titik terendah. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya kekuatan yang bisa menyejahterakan rakyat. Dulu, bangsa ini menjadi lemah, tetapi sebaliknya negara menjadi terlalu kuat. Sekarang, bangsa Indonesia menjadi lemah sementara negara juga lemah. Belum lagi, pemerintah dan legislatif juga tidak serius menyelesaikan aneka keruwetan persoalan bangsa. Negara tidak mengambil langkah-langkah yang semestinya untuk menyelesaikan persoalan, yang sesuai dengan harapan rakyat.
            Tak pelak lagi, Indonesia memerlukan perubahan substansial. Peringatan Ke-66 Hari Kemerdekaan RI kali ini kembali bertepatan dengan Ramadan. Bahkan, 17 Agustus 2011 bertepatan dengan 17 Ramadan 1432 H, tanggal yang diyakini sebagai permulaan turunnya Kitab Suci Alquran. Dengan dua peringatan penting itu. kita ingin mengajak seluruh warga kembali pada optimisme berbangsa yang didasari semangat spriritual. Kita meyakini, dua hal itulah yang bisa menjadi modal utama kita untuk keluar dari situasi keterpurukan multidimensi.     







6.   Memaknai Kemerdekaan
                        Menurut hemat penulis, harus ada keseimbangan dalam memaknai kemerdekaan ini sebagai sebuah evaluasi dalam menjalani kehidupan berbangsa di masa mendatang. Diantaranya;
      1.   Merdeka dari kebebasan yang kebablasan. Hal ini terkait dengan moralitas bangsa di mata bangsa ini dan bangsa luar nantinya. Kasus erotisme, kasus kebudayaan yang disalah artikan, dan sederatan kasus lainnya yang bisa saja menghapuskan nilai bangsa ini sebagai bangsa yang berbudaya. Kebebasan dalam artian yang lebih luas lagi bisa dimaknakan dalam berpendapat, berekspresi, berargumentasi. Nilai kesantunan sebenarnya menjadi salah satu alat ukur untuk melihat tingkat pendidikan sebuah bangsa. Oleh karenanya, teori sederhananya adalah, bangsa yang semakin pintar rakyatnya, maka, semakin santun prilakunya. Dan juga, merdeka dari rasa bebas yang tak beraturan.
      2.   Merdeka dari krisis kepercayaan. Ini juga menjadi momok baru, sebab tak akan ada lagi gunanya sebuah negara jika didalamnya terdapat saling curiga dan tidak percaya. Rakyat tidak lagi percaya terhadap pemimpinnya pemimpin juga tidak percaya bahwa rakyat mendukungnya. Maka, perjalanan bangsa yang seperti ini tidak akan pernah stabil dan berjalan dengan lancar. Ini adalah peran rakyat. Rakyat Indonesia harus memberi kesempatan kepada siapapun yang memimpin daerah maupun negaranya. Beri kesempatan untuk berbuat, beri peringatan, bila melakukan kesalahan dan peringatan, dan beri hukuman jika memang tidak ada perubahan dan melakukan kesalahan dengan kesengajaan. Merdeka dari rasa tidak percaya dalam berbangsa akan mengantarkan bangsa ini lebih maju sebab diberi kesempatan untuk memajukan bangsa ini.
      3. Merdeka dari menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Inilah salah satu imbas negative jika sebuah negara memiliki multi partai. Jika Negara ini dijalankan dengan pemimpin yang lahir dari salah satu partai. Maka partai lain akan berusaha menjelek-jelekkan kepemimpinannya. Dan membanding-bandingkan dengan yang lain. Inilah yang juga menjadi momok baru mengapa bangsa ini sulit maju dan bangkit dari beragam permasalahan.
      4.   Merdeka dari ketergantungan. Sudah saatnya masyarakat Indonesia berfikir ulang terhadap keberlangsungan hidupnya. Berfikir untuk tidak lagi bergantung pada pemerintah saja. Berfikir untuk mencari jalan lain mencari penghidupan dan kehidupan. Moralitas bangsa kita yang sudah terpola terhadap makna Pegawai negeri sipil misalnya, menjadi salah satu momok yang lama-kelamaan menjadi momok baru dalam program mencerdaskan bangsa. Lama kelamaan, generasi muda Indonesia bersekolah dan berkuliah hanya berorientasi pada pekerjaan semata, pegawai semata tanpa melihat pada tingkat eksistensi keilmuan yang harus dimilikinya sebagai sarana pengembangan kreativitasnya kedepan. Kedepannya, memaknai kemerdekaan bangsa ini dengan tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pemerintah saja.
      5.   Merdeka untuk ikhlas dan menjalin semangat kebersamaan dalam membangun bangsa. Dicari pemimpin yang amanah, pemimpin yang berorientasi pada pengembangan, pemberdayaan, kesejahteraan dan tanggung jawab. Mendapat amanah sebagai pejabat pemerintah, pemimpin dan wakil rakyat. Berarti sudah mengikhlaskan diri untuk menyerahkan semangat dan tanggung jawab demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Bukan pula sebaliknya, yang berkembang hanyalah semangat menggerogoti bangsa ini yang memang sudah keropos.
            Akhirnya, dalam memaknai kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 66 ini harus melalui pembenahan internal diri dan moralitas bangsa ini secara keseluruhan. Baik niat dan motivasinya, tentunya akan baik pula hasilnya. Sebaliknya, buruk niatnya, maka itu pula yang nantinya akan menghancurkan bangsa ini perlahan-lahan. Semoga bangsa kita menjadi lebih baik kedepannya.

sumber : wikipedia
Semoga Bermanfaat Artikelnya 

Comments

DiGugel said…
menurut anemah belum merdeka! masih banyak yang kismin belum pada sejahtera rakyatnya!
Unknown said…
wahhh nice info nya :D
dari tadi ane baca seruu :D

http://demonz4rt.blogspot.com/
Anonymous said…
itu ngomongin mohammad hatta kenapa gambarnya soekarno gan haha
Imam Losaries said…
ty y sob dh brkunjung

Popular posts from this blog

MAKALAH Sejarah Singkat Berdirinya Bengkel

DRAMA SINGKAT 5 ORANG (Menghindari Gibah (Gosip))

MAKALAH WISATA YOGYAKARTA CANDI BORO BUDUR