KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
1. Sang Proklamator Mohammad Hatta
Mohammad
Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang
indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji
Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya,
Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Sejak
duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun
1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen
Bond.
Sebagai
bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi
hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun
dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa
tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya
menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada
tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School
di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922,
perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang
menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta
juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara
teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta
lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir
tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu
dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun
memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan
rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal
17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang
berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur
Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur
ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan
non-kooperatif.
Sejak
tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah
kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi
organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia.
Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di
Eropa.
PI
melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres
intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu,
hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada
tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta
memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di
Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi
diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah
Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan
organisasi-organisasi internasional.
Hatta
dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan
di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan
pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta
tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika
seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor
(Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada
tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi
"Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland,
Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence
(Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama
dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid
Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22
Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala
tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan
yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama
"Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara
tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan
untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan
untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Pada
bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan
sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933,
kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk
Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan
kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip
non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi
Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende,
Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul
"Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno"
(30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
Pada
bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial
Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang
ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah
Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun
Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka
dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di
penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Pada
bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel
(Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua
pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan
harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan
menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke
daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial
waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar
pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40
sen sehari.
2. Proklamasi
Pada awal Agustus
1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti
dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua
dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil
daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari
luar Pulau Jawa.
Pada
tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol,
sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil
yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan
Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi
kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas.
Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya.
Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para
anggota lainnya menanti.
Soekarni
mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja,
Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan
riuh.
Tangal
17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan
Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal
18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan
Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo
Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu
dwitunggal.
3. Periode Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia
Indonesia
harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin
menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan
akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk
mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui
Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama
Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja
India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India
dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda
dihukum.
Kesukaran
dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan
pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua.
Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana.
Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada
tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi
Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan
Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung
Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat
berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
4. Periode Tahun 1950-1956
Selama
menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di
berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan
dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing
gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya.
Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari
Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan
koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi
Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung
Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada
tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante
pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk
surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada
Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil
Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember
1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno
berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada
tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor
Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada
kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau
dan Datang”.
Sesudah
Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar
akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas
Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu
politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar
Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan
gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta
berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada
tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji
Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan
pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam
masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi
bangsanya daripada seorang politikus.
Pada
tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta
anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik
Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
5. Refleksi 66 Tahun Kemerdekaan RI
Esok
pagi, 17 Agustus 2011, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan yang
ke-66. Kita ingin menekankan di sini, perayaan kemerdekaan kali ini mestinya
tidak menjadi suatu peringatan yang seremonial saja. Sering kali, rutinitas
tahunan seperti ini memang mudah terjebak dalam hal-hal yang sifatnya
seremonial dan membenamkan substansi-substansi reflektif atas peristiwa itu.
Peringatan Kemerdekaan sudah terlalu sering hanya diasosiasikan dengan
kemeriahan lomba balap karung, upacara, paskibra, atau simbolisasi lagu-lagu
perjuangan.
Tidak
ada salahnya, menjelang peringatan 66 Tahun Proklamasi, kita memaknai kembali
arti kemerdekaan. Memaknai di sini bukan berarti sekadar membeberkan hal-hal
simbolik tentang kemerdekaan. Lebih dari itu, kita berharap dapat menemukan
suatu rumusan moral imperatif yang sejalan dengan situasi bangsa saat ini, dan
menjadi pendorong yang menginspirasi seluruh warga untuk bergerak menjadi
bangsa yang benar-benar merdeka. Hal itu penting, karena bagi sebagian besar
generasi muda, makna kemerdekaan boleh jadi hanya samar-samar.
Cobalah
kita cermati pembahasan di kalangan generasi yang lahir setelah tahun 1970-an
tentang acara tirakatan yang sudah menjadi tradisi pada setiap malam 17 Agustus.
Kebanyakan akan bersikap acuh, dan sebagian lagi mungkin lebih tertarik pada
kemeriahan organ tunggal campursari atau dangdut. Bagi sebagian besar generasi
tersebut, peringatan semacam itu bukan berarti sebuah selebrasi yang punya
nilai mendalam. Perayaan kemerdekaan menjadi tidak jauh dari sekadar hura-hura
hajatan.
Meskipun
telah merdeka selama 66 tahun, Indonesia masih jauh dari cita-cita yang telah
digariskan oleh pendiri bangsa. Mayoritas rakyat Indonesia masih belum
menikmati kemerdekaan yang hakiki karena terbelenggu ”penjajah” berupa
kemiskinan, ketidakadilan, dan korupsi. Di bidang ekonomi dan perdagangan
misalnya, rakyat Indonesia kini hanya dijadikan pasar bagi produk-produk asing.
Parahnya lagi, serbuan produk asing bukan hanya berasal dari sektor manufaktur,
tetapi juga hampir semua sektor, termasuk pertanian.
Dapat
dikatakan, bangsa dan negara Indonesia kini berada pada titik terendah. Hal itu
dibuktikan dengan tidak adanya kekuatan yang bisa menyejahterakan rakyat. Dulu,
bangsa ini menjadi lemah, tetapi sebaliknya negara menjadi terlalu kuat.
Sekarang, bangsa Indonesia menjadi lemah sementara negara juga lemah. Belum
lagi, pemerintah dan legislatif juga tidak serius menyelesaikan aneka keruwetan
persoalan bangsa. Negara tidak mengambil langkah-langkah yang semestinya untuk
menyelesaikan persoalan, yang sesuai dengan harapan rakyat.
Tak
pelak lagi, Indonesia memerlukan perubahan substansial. Peringatan Ke-66 Hari
Kemerdekaan RI kali ini kembali bertepatan dengan Ramadan. Bahkan, 17 Agustus
2011 bertepatan dengan 17 Ramadan 1432 H, tanggal yang diyakini sebagai
permulaan turunnya Kitab Suci Alquran. Dengan dua peringatan penting itu. kita
ingin mengajak seluruh warga kembali pada optimisme berbangsa yang didasari
semangat spriritual. Kita meyakini, dua hal itulah yang bisa menjadi modal
utama kita untuk keluar dari situasi keterpurukan multidimensi.
6. Memaknai Kemerdekaan
Menurut
hemat penulis, harus ada keseimbangan dalam memaknai kemerdekaan ini sebagai
sebuah evaluasi dalam menjalani kehidupan berbangsa di masa mendatang.
Diantaranya;
1.
Merdeka dari kebebasan yang kebablasan.
Hal ini terkait dengan moralitas bangsa di mata bangsa ini dan bangsa luar
nantinya. Kasus erotisme, kasus kebudayaan yang disalah artikan, dan sederatan
kasus lainnya yang bisa saja menghapuskan nilai bangsa ini sebagai bangsa yang
berbudaya. Kebebasan dalam artian yang lebih luas lagi bisa dimaknakan dalam
berpendapat, berekspresi, berargumentasi. Nilai kesantunan sebenarnya menjadi
salah satu alat ukur untuk melihat tingkat pendidikan sebuah bangsa. Oleh
karenanya, teori sederhananya adalah, bangsa yang semakin pintar rakyatnya,
maka, semakin santun prilakunya. Dan juga, merdeka dari rasa bebas yang tak
beraturan.
2.
Merdeka dari krisis kepercayaan. Ini
juga menjadi momok baru, sebab tak akan ada lagi gunanya sebuah negara jika
didalamnya terdapat saling curiga dan tidak percaya. Rakyat tidak lagi percaya
terhadap pemimpinnya pemimpin juga tidak percaya bahwa rakyat mendukungnya.
Maka, perjalanan bangsa yang seperti ini tidak akan pernah stabil dan berjalan
dengan lancar. Ini adalah peran rakyat. Rakyat Indonesia harus memberi
kesempatan kepada siapapun yang memimpin daerah maupun negaranya. Beri
kesempatan untuk berbuat, beri peringatan, bila melakukan kesalahan dan
peringatan, dan beri hukuman jika memang tidak ada perubahan dan melakukan
kesalahan dengan kesengajaan. Merdeka dari rasa tidak percaya dalam berbangsa
akan mengantarkan bangsa ini lebih maju sebab diberi kesempatan untuk memajukan
bangsa ini.
3.
Merdeka dari menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Inilah salah satu imbas negative
jika sebuah negara memiliki multi partai. Jika Negara ini dijalankan dengan
pemimpin yang lahir dari salah satu partai. Maka partai lain akan berusaha
menjelek-jelekkan kepemimpinannya. Dan membanding-bandingkan dengan yang lain.
Inilah yang juga menjadi momok baru mengapa bangsa ini sulit maju dan bangkit
dari beragam permasalahan.
4.
Merdeka dari ketergantungan. Sudah
saatnya masyarakat Indonesia berfikir ulang terhadap keberlangsungan hidupnya.
Berfikir untuk tidak lagi bergantung pada pemerintah saja. Berfikir untuk
mencari jalan lain mencari penghidupan dan kehidupan. Moralitas bangsa kita
yang sudah terpola terhadap makna Pegawai negeri sipil misalnya, menjadi salah
satu momok yang lama-kelamaan menjadi momok baru dalam program mencerdaskan
bangsa. Lama kelamaan, generasi muda Indonesia bersekolah dan berkuliah hanya
berorientasi pada pekerjaan semata, pegawai semata tanpa melihat pada tingkat
eksistensi keilmuan yang harus dimilikinya sebagai sarana pengembangan
kreativitasnya kedepan. Kedepannya, memaknai kemerdekaan bangsa ini dengan
tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pemerintah saja.
5.
Merdeka untuk ikhlas dan menjalin
semangat kebersamaan dalam membangun bangsa. Dicari pemimpin yang amanah,
pemimpin yang berorientasi pada pengembangan, pemberdayaan, kesejahteraan dan
tanggung jawab. Mendapat amanah sebagai pejabat pemerintah, pemimpin dan wakil
rakyat. Berarti sudah mengikhlaskan diri untuk menyerahkan semangat dan
tanggung jawab demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Bukan pula
sebaliknya, yang berkembang hanyalah semangat menggerogoti bangsa ini yang
memang sudah keropos.
Akhirnya,
dalam memaknai kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 66 ini harus melalui
pembenahan internal diri dan moralitas bangsa ini secara keseluruhan. Baik niat
dan motivasinya, tentunya akan baik pula hasilnya. Sebaliknya, buruk niatnya,
maka itu pula yang nantinya akan menghancurkan bangsa ini perlahan-lahan.
Semoga bangsa kita menjadi lebih baik kedepannya.
sumber : wikipedia
Semoga Bermanfaat Artikelnya
Semoga Bermanfaat Artikelnya
Comments
dari tadi ane baca seruu :D
http://demonz4rt.blogspot.com/