Keraguan Cinta Kepadamu
Keraguan Cinta
”Dengan buku ini, saya mau berkata bahwa
saya... bahwa saya... suka kamu. Dan... maukah kamu jadi kekasihku?”
Malam yang indah, sekaligus malam
mendebarkan bagi Mifta. Soalnya ini kali pertama Mifta mengungkapkan
perasaannya pada sang pujaan hati. Setelah ia membuktikan rasa sukanya, dengan
sejuta kata-kata
yang ia rangkai menjadi sebuah cerita cinta.
Sampai dengan berbagai buku cerita yang ia persembahkan untuk si dia. Meski
dengan susah payah ia melakukannya, dengan cinta semuanya dilalui. Oh, malam
tanpa bintang.
Berikanlah aku kekuatan untuk menghadapi cintanya. Walaupun harus bertepuk
sebelah tangan, aku rela menantinya dengan sabar.
Mifta sedang berkelit dengan batinnya. Ia
bingung. Apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi pujaannya. Berbagai cara
sudah ia lakukan untuk meluluhkan hatinya. Mulai dari buku kajian diri, majalah
Aneka Yess!, dan tabloid Keren Beken, yang memuat tulisanya. Lantas hari ini ia
bener-bener butek.
Entah kenapa. Padahal setiap kali ia
mengingat namanya saja, sudah langsung cling dan jadilah sebuah karya. Mungkin
masih trauma, ya. Masalahnya, ketika tahun kemarin pas hari Id, Mifta
memberanikan diri ke rumah sang bidadari. Cuma untuk memberikan hadiah dan kata
selamat, dadanya berdebar-debar bak masuk kandang singa..
Waktu itu dia berharap disambut oleh sang
pujaan, supaya bisa bicara banyak. Tetapi, ketika sudah berada di ambang pintu,
yang keluar bukan bidadari. Melainkan induk bidadari. Jadi Mifta gagap deh. Ia
masih merasakan getaran yang dahsyat, yang membuat keringat dingin bercucuran.
Mungkin Mifta datangnya terlalu pagi,
sehingga sang bidadari masih asyik memeluk bantal. Tadinya, Mifta datang subuh
itu untuk menghindari keramaian. Namun karena miskomunikasi, jadinya gitu
deh...
Puh! Mifta beranjak dari tempat tidur
menuju sebuah lemari. Diobrak-abriknya isi lemari itu. Mencari sesuatu yang
pernah ia beli waktu Gramedia Book Fair di Rumah Dunia. Aduh, ada nggak ya?
Padahal dulu ada. Kok, sekarang nggak ada sih. Masa, hilang? Nggak mungkin.
Hati Mifta terus bertanya-tanya, sambil meneliti satu persatu buku-buku yang
terjejer di lemari. Setelah pusing mencari, akhirnya ia menemukannya. Ternyata
benda itu terselip di lemari bajunya.
Pokoknya Aku Suka Kamu. Mifta membaca
kata-kata itu dengan ekspresi wajahnya yang ragu-ragu, karena belum pernah....
Huuu... padahal itu hanya sebuah judul buku. Kok nggak pede sih. Malu apa mau
nih? Lagi-lagi sebuah buku. Itulah strategi yang bisa Mifta tunjukkan. Kenapa
bukan bunga atau cokelat? Sebab kedua benda itu cepat layu dan habis. Tetapi
dengan buku, nggak akan habis. Meskipun bisa hilang bila yang punya
menyimpannya asal, atau rusak. Tetapi isi buku itu sendiri yang membuat orang
menjadi pintar dan berwawasan. Kan itu sama saja meningkatkan SDM pembaca di
negera kita. Prinsip itu yang selalu dipegang Mifta, selain karena cinta. Ia
juga mencoba agar orang yang dicintai suka dengan buku, biar hidup lebih berisi
sekaligus kaya ilmu.
Setelah menemukan buku itu, tanpa
basa-basi Mifta langsung check out dari kamarnya. Dengan penampilan sederhana
tapi tidak norak amat, ia ngacir membawa motor bebeknya. Sepanjang jalan
kampung yang menghubungkan rumahnya dan rumah si dia, Mifta tampak gelisah
sambil matanya mencari-cari seseorang yang akan ia temui itu.
Beberapa menit kemudian Mifta bertemu
juga. Ternyata ia sedang berdua dengan teman ceweknya. Mungkin sedang menunggu
kehadiran Mifta. Saat beberapa hari yang lalu Mifta sempat bertemu dengannya,
dengan senyumnya yang manis ia menyapa. Namun itu hanya sesaat, dan semuanya
berakhir kembali. Tapi, malam ini Mifta berniat tak akan melepasnya. Di sebuah
rumah kecil yang sederhana, entah rumah siapa, mungkin saja itu rumah temannya,
ia duduk di teras berdampingan dengan temannya. Mifta dengan sisa pedenya
memberanikan diri, berhenti di depan rumah itu. Tidak luput dengan senyum yang
mengambang. Mifta mendekati kedua cewek yang sedang duduk. Lalu keduanya
menyapa dengan senyum.
“Tumben nih, angin dari mana?” tanya Ria
sambil memainkan alis matanya.
“Angin dari selatan,” jawab Mifta pelan.
“Angin dari selatan,” jawab Mifta pelan.
Sedang orang yang ia cari itu hanya diam
membisu. Pura-pura tidak menghiraukan. Padahal Mifta tahu, cewek yang ia bidik
itu juga merasa. Si cewek beringsut dari tempat duduknya ketika Mifta
mendekatinya dengan membawa sesuatu di tangannya.
“Hai, Imah,” sapa Mifta sebagai pembuka.
Cewek yang dipanggil Imah itu menatap Mifta dengan senyuman mautnya. Merasa
dibalas, Mifta jadi salah tingkah.
“Imah, bisa kita ngobrol sebentar saja?”
“Boleh, tapi duduk
dulu,” jawab cewek berambut hitam sebahu itu, dengan suaranya yang sayup, yang
membuat hati setiap lelaki luluh. Keduanya duduk bersampingan, meskipun masih
menjaga jarak.
“Imah, sebenarnya saya mau mengatakan
sesuatu yang telah lama saya pendam.”
“Tentang apa?”
“Tentang apa?”
Wajahnya yang cantik merona membuat dada
Mifta berdetak kencang. Tapi, Mifta keburu melegakan diri dengan menghembuskan
nafas panjang.
“Tentang kita. Tapi, sebelumnya saya mau
memberikan sesuatu untukmu.”
Dikeluarkannya buku itu, dan ia serahkan
dengan segenap harga dirinya.
“Imah, sesungguhnya saya telah lama
respect sama kamu,” kata Mifta sambil menenangkan perasaannya, agar biasa saja.
”Dengan buku ini, saya mau berkata
bahwa... bahwa saya... saya suka kamu. Dan... maukah kamu jadi kekasihku?”
Imah hanya diam, sambil tangannya menerima
hadiah buku dari Mifta. Dia masih kurang paham.
Diliriknya sesaat Ria yang tersenyum melihat peristiwa menarik itu. Dengan bahasa isyarat, Ria memberikan petunjuk pada Imah agar menerimanya.
Diliriknya sesaat Ria yang tersenyum melihat peristiwa menarik itu. Dengan bahasa isyarat, Ria memberikan petunjuk pada Imah agar menerimanya.
“Iya, makasih atas bukunya,” jawab Imah
dengan terbata-bata. Seperti dipaksakan.
“Ngobrol gih ngobrol,” celetuk Ria membuyarkan keadaan. Dengan muka merah, Mifta dan Imah pun tertawa. Berlanjut dengan obrolan lain. Sampai malam pun larut.
“Ngobrol gih ngobrol,” celetuk Ria membuyarkan keadaan. Dengan muka merah, Mifta dan Imah pun tertawa. Berlanjut dengan obrolan lain. Sampai malam pun larut.
Pertemuan singkat itu akan berlanjut.
Rencananya akan kumpul lagi seminggu sekali. Apalagi besok kan puasa, kencan
sesaat ini terhambat oleh puasa. Yah... baru jadian sudah libur. Apa enaknya?
Menikmati cinta di rumah dengan kesendirian, sambil melamun lagi. Mmm, nggak
level deh...
Meskipun sudah jadian dengan Imah, kekasih
pertamanya, Mifta tidak bisa seenaknya deket-deket. Untung kalau bisa
berlama-lama menatapnya sambil menggenggam jemarinya. Deket saja sudah
untung.Setiap bertemu, Mifta merasa bingung. Sebab Imah selalu menjaga jarak.
Walau tiap malam sholat bareng, pas bertemu Imah hanya senyum, dan pergi.
Seperti ada yang disembunyikan. Mifta mengerti dengan kesibukan Imah yang
setiap hari harus sekolah. Tapi, kenapa setiap kali bertemu selalu saja
suasananya cuma sebentar.
“Imah, apakah kamu mencintaku. Jika iya,
kenapa kamu seakan tak mau memandangku lebih lama? Apa sih yang ada di
benakmu?”
Hari terus berganti, dan puasa sudah
menginjak hari keempat. Jadi malam nanti adalah malam Minggu,
kesempatan Mifta untuk berkunjung menemuinya. Namun isyarat lain terus saja
menggelayuti pikirannya. Rasa curiga, cemburu yang bergolak, rindu meninggi,
sampai kebosanan pun merundung. Mifta mencoba membuang pikiran buruk itu
jauh-jauh, di selang perjalanannya menuju seseorang yang akan ditemui. Tapi,
sekali lagi Mifta kecewa. Di tempat itu, ia tak menemukannya, dan ia hanya
menghela nafas. Kembali pulang dengan kehampaan.
Fajar telah membubung tinggi.
Burung-burung berkicau mendendangkan lagu selamat pagi.
Di pagi hari yang cerah ini Mifta keluar, joging. Dengan harapan
ia bisa ketemu denganya di jalan. Tapi, waktu telah menunjukkan angka enam
kurang. Matahari
sudah tampak. Mifta melajukan motornya menyusuri jalan kampung yang sepi. Hanya
terlihat beberapa orang. Ia tak peduli dengan kesepian kampungnya. Suasana
seperti itu sudah biasa terjadi. Memang sepi. Mifta terus menjalankan motornya
sampai ke rumah Ria. Di jalan, Mifta mendapati Ria seorang diri.
“Good morning, Ria. Nggak joging nih?”
tanyanya sambil menghentikan motor.
“Joging dong,” jawab Ria singkat.
“Joging dong,” jawab Ria singkat.
“Kok, sendirian saja. Dimana si Imah?”
“Huuu, terlambat.”
“Terlambat, terlambat apanya?” Pernyataan
Ria membuat Mifta heran
“Imah sudah jalan
dari tadi, naik motor berdua sama Medi.”
Seeet, seeet... hati Mifta serasa disayat
benda tajam. Perih rasanya, mendengar kekasihnya jalan dengan orang lain.
Padahal baru seminggu jadian. Imah sudah mengkhianati kesetiaannya. Imah, ada
apa? Katakan padaku. Jangan kau selalu membuat hatiku bertanya-tanya dan
tertutup untukku. Aku ingin tahu, apa yang kau inginkan.
Jika kau memang nggak suka. Aku rela untuk
melepasmu. Tapi jangan begini caranya. Imah, bisakah kau hargai aku sedikit
saja. Lagi-lagi janji di atas ingkar seperti judul lagu Audy, penyanyi kesukaan
Mifta. Perasaan Mifta kecewa berat. Merasa orang yang selalu ia puja untuk
menjadi kekasihnya kini telah mempermainkannya dan mengkhianati cintanya.
Hancur sudah apa yang pernah Mifta inginkan. Semuanya tinggal kenangan. Mifta
ragu untuk melanjutkan hubungan. Sekali lagi ia pulang dengan kekalahan,
layaknya sang pejantan tangguh yang kuyup. Tetapi di hatinya ia masih tetap
cinta pada Imah. Kekasih yang tak pernah mengerti apa kata hatinya.
***
Semoga Bermanfaat
^_^
^_^
Comments