MAKALAH PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan
suatu pedoman yang langsung bersiat normative melainkan suatu sistem nilai
etika.
B. Tujuan
Penulisan
1. Memenuhi tugas mandiri
2. Memahami Pancasila sebagai etika politik.
BAB II
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
A. Pengertian Etika
Etika
termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika
umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran – ajaran dan pandangan – pandangan moral. Etika adalah suatu
ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
moral tertentu, atau bagaimana kita harus
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran
moral (Suseno, 1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku
bagi tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu
dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Susen, 1987). Etika
khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia
terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas dalam hidup
bermasyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika
berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya,
membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan
“tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan
sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualiatas –
kualitas ini dinamakan kebijakan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti
sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang
tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip
dasar pembenaran dalam hubungan dengan tigkah laku manusia (Kattsoff. 1986).
Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalah
hubungan dengan tingkah laku manusia.
- Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa nilai adalah
kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi
dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
Nilai
berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi
empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan
dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan,
cita-cita, keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah)
manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkrit yaitu tidak dapat
ditangkap dengan indra manusia, dan nilai tersebut diberikan oleh subjek (dalam
hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat jikalau nilai
tersebut telah melekat pada suatu terlepas dari penilaian manusia.
Agar
nilai tersebut lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia,
maka perlu lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya
dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai
tersebut adalah merupakan suatu norma. Terdapat berbagai macam norma, dan dari
berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya,
karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau
penegak hukum.
Selanjutnya
nila dan norma senantiasa berkaitan
dengan norma dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat
pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang memilikinya. Makna moral
yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan
tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma
sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan
antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan kadangkala kedua hal tersebut
disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan.
Moral yaitu suatu ajaran - ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan,
kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Adapun dipihak lain etika
adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral tersebut (Krammer. 1988 dalam
Darmodiharjo. 1996). Atau juga sebagaimana dikemukakan oleh De Vos (1987),
bahwa etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan adalah
sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip – prinsip moralitas.
B. Etika Politik
Sebagaimana dijelaskan di muka bawa filsafat dibagi menjadi beberapa cabang, terutama dalam hubungannya
dengan bidang yang dibahas. Jikalau dikelompokkan cirinya, maka filsafat
dibedakan atas filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoteris membahas tentang makna
hakiki segala sesuatu antara manusia, alam, benda fisik, pengetahuan bahkan
juga hakikat yang trasenden. Dalam hubungan ini filsafat teoretispun pada
lahirnya sebagai sumber pengembangan hal-hal yang bersifat praksis yang
termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat praksis sebagai bidang kedua,
membahas dan mempertanyakan dan membahas tanggung jawab dan kewajiban manusia
dalam hubungannya dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara,
lingkungan alam serta terhadap Tuhannya (Suseno, 1987 : 12).
Pengelompokkan etika sebagaimana
dibahas di muka, dibedakan atau etika umum dan etika khusus. Etika umum
membahas prinsip-prinsip dasar segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus
membahas prinsip itu dalam hubungannya dengan kewajiban manusia dalam berbagai
lingkup kehidupannya. Etika khusus dibedakan menjadi pertama : etika
individual yang membahas tentang kewajiban
manusia sebagai individual yang membahas tentang kewajiban manusia
individu terhadap dirinya sendiri, serta melalui suara hati terhadap Tuhannya,
dan kedua : etika sosial membahas
kewajiban serta norma-norma moral yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan
dengan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial memuat
banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Misalnya
etika keluarga, etika profesi, etika lingkungan, etika pendidikan, etika
seksual dan termasuk juga etika politik yang menyangkut dimensi politis
manusia.
1. Pengertian Politik
Pengertian “Politik “ berasala
dati kosa kata “Politics” yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam
satu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan
pelaksanaan tujuan-tujuan itu “Pengmabilan keputusan atai “decisionmaking”
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
antara beberapa alternatife dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan
itu perlu ditentukan kebijaksanaan – kebijaksanaan umum atau public policies,
yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber
– sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, diperlukn suatu
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang dipakai baik
untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang
dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu
pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya
merupakan perumusan keinginan belaka (statement of intent) yang tidak
akan pernah terwujud).
Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals). dan bukan tujuan
pribadi seseorang (privat goal). Selain itu poitik menyangkut kegiatan berbagai kelompok
termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
Berdasarkan pengertian-pengertian
pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep poko yang berkaitan dengan
negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking),
kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation)
(Budiharjo, 1981 : 8,9).
2. Nila-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika
Politik
Sebagai dasar filsafat negara
Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan,
melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan
legimitasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila
kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
adalah merupakan sumber nilai – nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.
Negara Indonesia yang berdasarkan Sila I
“Ketuhanan Yang Maha Esa” bukanlah negara Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan
negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius, melainkan
berdasarkan legitimasi hukum serta
legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asa “Ketuhanan Yang Maha Esa” lebih
berkaitan dengan legitimasi moral. Hal ini yang membedakan negara yang Berketuhanan
Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun di negara Indonesia tidak
mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara
harus sesuai dengan nilai – nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta
moral dalam kehidupan negara.
Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara
dijalankan sesuai dengan (I) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu
dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis
(legitimasi demokratis). Dan (3) dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip moral atau tidak
bertentangan dengannya (legitimasi
moral) (lihat Suseno, 1987 : 115). Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan yang menyangkut
publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius
(sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Hal ini ditegaskan oleh Hatta
tatkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral
kemanusiaan agar tidak terjerumus kedalam machtsstaats, negara
kekuasaan.
Selain itu dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip
legalitas. Negara Indonesia
adalah negara hokum, oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan
sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V. adalah merupakan tujuan dalam
kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,
segala kebijakan atas hukum yang
berlaku. Pelanggaran atas prinsip–prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan
akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan negara.
DAFTAR
PUSTAKA
- Kaelan,
DR.M-S, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta
- Suseno
Vonmagnis, 1987, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
PT. Gramedia, Jakarta
- Budiardjo Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu
Politik, Gramedia, Jakarta
Comments
tengkyu y dah berkunjung
moga nambah pinter y dalam memahami pancasila sob..hehe
tengkyu dah berkunjung .. ^_^