MAKALAH PERMASLAHAN ANGKATAN SEJARAH SASTRA INDONESI

 in the name of allah most gracious most merciful

MASALAH ANGKATAN DAN PENULISAN
 SEJARAH SASTRA INDONESIA

1.   Masalah Angkatan
               Masalah angkatan itu tak lepas dari kaitannya dengan penulisan sejarah sastra Indonesia atau penulisan sejarah sastra Indonesia tak lepas dari pembicaraan masalah angkatan dan periodesasi. Angkatan sastra haruslah dihubungkan dengan adanya persamaan ciri-ciri intrinsik sekumpulan karya sastra yang dihasilkannya.
               Ciri-ciri intrinsic karya sastra yang menjadi dasar penentuan adanya sebuah angkatan, berupa ciri-ciri yang terdapat dalam karya sastra secara konkret. Meliputi jenis sastranya (genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya sastra.

2.   Penulisan Sejarah Sastra Indonesia
               Penulisan sejarah sastra Indonesia sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua cara. Yang pertama, dengan cara teori estetika resepsi atau estetika tanggapan. Yang kedua, dengan cara teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode ke periode atau dari angkatan ke angkatan.
                Penulisan sejarah sastra Indonesia juga dapat dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dari sudut tinjauan perkembangan jenis-jenis sastranya (genres), baik prosa maupun puisi.
      2.1    Metode Estetika Resepsi dalam Penulisan Sejarah Sastra
                        Penyusunan sejarah sastra berdasarkan teori estetika resepsi dipusatkan kepada pembaca karya sastra sebagai penyambut sastra. Sejarah sastra merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus dan penulis dalam kreativitas sastra menurut (Jauss, 1974:14).
                        Dalam penulisan sejarah sastra berdasarkan teori estetika resepsi ini, diteliti tanggapan-tanggapan pembaca, konsep-konsep tentang sastra, norma-norma sastra, yang semuanya itu menentukan penilaiannya terhadap sebuah karya sastra atau karya sastra pada umumnya.

      2.2    Metode Perunutan Perkembangan Karya Sastra
                        Metode penyusunan sejarah sastra yang kedua adalah perunutan perkembangan karya sastra yang disusun dalam kelompok-kelompok besar atau kecil, sesuai dengan kepengarangan atau jenis-jenis sastra (genre), tipe-tipe gaya, atau tradisi kebahasaan (Wellek, 1968:255).
                        Dalam menyusun sejarah sastra itu diperlukan bantuan kritik sastra, diperlukan prinsip-prinsip kritik sastra untuk menentukan karya sastra bernilai (sastra) atau tidak. Karena itu, dalam penyusunan sejarah sastra diperlukan deskripsi sejarah mengenai ciri-ciri sastra, sesudah diseleksi karya-karya yang bernilai, dalam setiap periode.
                        Demikianlah, dalam menyusun sejarah sastra Indonesia perlu dibuat deskripsi mengenai ciri-ciri sastra pada setiap periode yang merupakan ciri khusus yang membedakannya dengan ciri-ciri periode sebelumnya atau sesudahnya.
               2.2.1 Periode Sastra Indonesia
                                 Periodesasi hendaknya dibuat berdasarlan adanya ciri-ciri sastra khusus pada setiap periode. Para tokoh sastra Indonesia yang membuat periodesasi diantaranya HB. Jassin (1953), Boejoeng Salaeh (1956), Nugroho Notosusasnto (1963) menunjukkan ciri-ciri setiap periode hanya mengenai garis besarnya, yang sering kurang literer, sedang Bakri Siregar (1964) dan Ajip Rosidi (1969) tidak memberikan ciri-cirinya. Ciri-ciri sastra setiap periode dan angkatan yang mereka buat belumlah lengkap menunjukkan ciri-ciri sastra secara menyeluruh.
                                 Periodesasi hendaknya didasarkan pada ciri-ciri intrinsik karya sastra sesuai dengan metode literer dan hakikat sastra.
                                 Berdasarkan ketidakmutlakan, periode-periode sejarah sastra Indonesia bertumpang tindih :
                                 1.   Periode Balai Pustaka : 1920-1940;
                                 2.   Periode Pujangga Baru : 193-1945;
                                 3.   Periode Angkatan 45 : 1940-1955;
                                 4.   Periode Angkatan 5 : 1950-1970; dan
                                 5.   Periode Angkatan 70 : 1965-sekarang (1984)

               2.2.2 Ciri-ciri Intrinsik dalam Periode-periode Sastra Indonesia
                                 Ciri-ciri intrinsic sastra setiap periode sastra Indonesia meliputi dua aspek, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra estetiknya.
                        2.2.2.1    Periode Balai Pustaka : 1920-1940
                                                Jenis sastra periode ini terutama adalah roman, ada juga cerita pendek. Karya-karya sastra yang penting dalam periode ini ialah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Siti Nurbaya, Pertemuan Abas St. Simanjuntak Ns, Salah Pilih, Karena Mentua, Katak Hendak Menjadi Lembu, Hulubalang Raja, karya Nur Sutan Iskandar, Kehilangan Mestika, karya Selasih, Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Ni Rawit dan Sukreni Gadis Bali karya Panji Tisna, dan karya-karya Hamka Di Bawah Lindungan Kaabah, Tengelamnya Kapal Van der Wijk, Merantau ke Deli, dan karya Sutomo Jauhar Arifin Andang Teruna.
                                       a.      Ciri-ciri Struktur Estetik
                                                (1)     Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah-pepatah, dan peribahasa, namun mempergunakan bahasa percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat sastra lama;
                                                (2)     alur roman sebagian besar alur lurus, ada juga yang mempergunakan alur sorot balik, tetapi sedikir misalnya Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Kaabah;
                                                (3)     teknik penokohan dan perwatakannya banyak dipergunakan analisis langsung (direct author analysis) dan deskripsi fisik; tokoh-tokohnya berwatak datar (flat character).
                                       b.      Ciri-ciri Ekstra Estetik
                                                (1)     bermasalah adat, terutama masalah adat kawin paksa, pemaduan dan sebagainya;
                                                (2)     pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua mempertahankan adat lama, sedang kaum muda menghendaki kemajuan menurut paham kehidupan modern;
                                                (3)     latar cerita pada umumnya latar pedesaan, dan kehidupan daerah.
                        2.2.2.2    Periode Pujangga Baru : 1930-1945
                                                Pada periode ini jenis sastra puisi sangat dominant. Karya-karya sastra yang penting diantaranya : Nyanyi Sunyi, Buah Rindu karya Amir Hamzah; Layar Terkembang dan Tebaran Mega karya St. Takdir Alisjahbana, Rindu Dendam J.E. Tatengkeng, Belenggu karya Armijn Pane, karya-karya Sanusi Pane Madah Kelana, Manusia Baru, Sandhyakalaning Majapahit, Percikan Permenungan dan Bebas Sari karya Rustam Effendi, Bandi Mataram dan Indonesia Tumpah Darahku karya Muhamad Yamin, dan sajak-sajak Asmara Hadi yang bernafaskan kebangsaan.          
                                       a.      Ciri-ciri Struktur Estetiknya
                                                (1)     puisinya puisi baru bukan pantun dan syair lagi; ada jenis baru yaitu sonata berasal dari Barat; ada juga balada tetapi rupanya belum dikenal betul;
                                                (2)     pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah.
                                                Prosa :
                                                (1)     alurnya lurus;
                                                (2)     teknik perwatakan sudah mulai dengan watak bulat; teknik perwatakan tidak analisis langsung seperti roman Balai Pustaka, deskripsi fisik sedikit.
                        2.2.2.3    Periode Angkatan 45 : 1940-1955
                                                Pada periode ini berkembang jenis-jenis sastra puisi, cerita pendek, novel, dan drama, lebih-lebih puisi dan cerita pendek meluas.
                                                Sastrawan-sastrawan yang menonjol dalam periode ini diantaranya : Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Achdiat K. Miharja, Pramudya Ananta Toer, Sitot Situmorang, Mochtar Lubis, dan Usmar Ismail.
                                                Karya-karya sastra yang penting : Deru Campur Debu, Kerikil Tajam karya Chairil Anwar, Tiga Menguak Takdir kumpulan sajak Chairil Anwar, Asrul sani dan Rivai Apin; karya Idrus Dari Ave Maria ke Jalain Lain ke Roma, Atheis novel Achdiat K. Miharja, kumpulan sajak Sitor Situmorang : Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak dan Wajah Tak Bernama, karya-karya Pramudya Ananta Toer : Subuh, Perburuan, Keluarga Gerilya dan Mereka yang Dilumpuhkan karya Muchtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok dan Si Jamal.

                                       a.      Ciri-ciri Struktur Estetik
                                                Puisi :
                                                (1)     puisi bebas, tak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan persajakan (rima)
                                                (2)     gayanya ekspresionisme.
                                                Prosa :
                                                (1)     banyak alur sorot balik, meski ada juga alur lurus;
                                                (2)     digresi dihindari, alurnya padat.
                                       b.      Ciri-ciri Ekstra Estetik
                                                Puisi :
                                                (1)     individualisme menonjol, dalam arti, kesadaran kepada keberadaan diri pribadi terpancar dengan kuat dalam sajak-sajak periode ini;
                                                (2)     mengekspresikan kehidupan batin / kejiwaan manusia lewat peneropongan batin sendiri.
                                                Prosa :
                                                Ciri-ciri ekstra estetik prosa sama atau hampir sama dengan ciri-ciri puisi
                                                (1)     mengemukakan masalah kemasyarakatan, diantaranya kesengsaraan kehidupan, kemiskinan, kepincangan-kepincangan dalam masyarakat, perbedaan kaya dan miskin, eksploitasi manusia oleh manusia (eksploitation del’homme parl’homme);
                                                (2)     mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal : kesengsaraan karena perang, tak adanya perikemanusiaan dalam perang, pelanggaran hak asasi manusia, ketakutan-ketakutan manusia, impian perdamaian dan ketentraman hidup;
                                                (3)     mengemukakan pandangan hidup dan pikiran-pikiran pribadi untuk memecahkan sesuatu masalah.
                        2.2.2.4    Periode angkatan 50 : 1950-1970
                                                Secara instrinsik ciri-ciri sastra, terutama struktur estetiknya, angkatan 45 dan angkatan 50 sukar dibedakan sebab gaya angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan oleh angakatan 50 hanya saja, dengan adanya pergantian situasi dan suasana tanah air dari perang ke perdamaian, dari masa transisi penjajahan ke kemerdekaan.
                                                Sastrawan-sastrawan yang (mulai) menulis dalam periode ini pada dekade 50-an diantaranya Kirdomuljo, WS Rendra, Ajib Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Nugroho Notosanto, Subagjo Sastrowardojo, Mansur Samin, N.H. Dini, Trisnojuwono, Rijono Pratikno, Alexandre Leo, Jamil Suherman, Bokoe Hutasuhut, Bastari Asnin, B. Sularto, Motinggo Busye Nasjah Djamin, Mohamad Diponegoro, Toha Mochtar, Ratmono SN, Piek ardidyanto, Hartojo Andangdjaja, dan sebagainya.
                                                Sastrawan-sastrawan yang mulai menulis pada decade 60-an diantaranya : Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jt, Doenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Taufik Ismail, Kunto Wijoyo, Fudoli Zaini, Darnanto, Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma dan Abdul Hadi W.M.



                                       a.      Ciri-ciri Struktur Estetik
                                                Puisi :
                                                (1)     gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan daya yang lebih sederhana dari puisi lirik;
                                                (2)     gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada.
                                                Prosa :
                                                Ciri-ciri sturktur estetik adalah gaya murni bercerita, dalam arti, gaya bercerita hanya menyajikan cerita saja, tanpa menyisipkan komentar, pikiran-pikiran sendiri, atau pandangan-pandangan.                                              
                                       b.      Ciri-ciri Ekstra Estetik
                                                Puisi :
                                                (1)     ada gambaran suasan muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan;
                                                (2)     mengungkapkan masalah-masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup; dan
                                                (3)     banyak mengemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.
                                                Prosa :                                                                       
                                                (1)     cerita perang mulai berkurang;
                                                (2)     menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari;
                                                (3)     kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap seperti tampak dalam novel Toha Mochtar Pulang, Bokor Hutasuhut : Penakluk Ujung Dunia, dan cerpen-cerpen Bastari Asnin Di Tengah Padang dan cerpen-cerpen Yusah Anannda, dan
                                                (4)     banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.
                        2.2.2.5    Periode angkatan 70 : 1965-sekarang (1984)
                                                Yang menulis sesuda tahun 1970 pada umumnya sastrawan yang lebih muda seperti Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, ahmad Tohari, Yudhistira Ardi Nugroho dan lain-lainnya.
                                                Dalam periode ini berkembang apa yang disebut sastra pop, novel-novel pop, yang secara literer tidak menunjukkan adanya perkembangan sastra sebab boleh dikata bercorak konvensional dan stereo-type.
                                       a.      Ciri-ciri Struktur Estetik
                                                Puisi :
                                                Ada empat macam jenis gaya puisi, yaitu puisi mantra, puisi imajisme, puisi lugu dan puisi lirik biasa.
                                                (1)     puisi bergaya mantra;
                                                (2)     dipergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendaptkan makna baru;
                                                (3)     gaya penulisan yang prosais.
                                                Prosa :
                                                (1)     alur berbelit-belit;
                                                (2)     gaya simbolik surealistik.


                                       b.      Ciri-ciri Ekstra Estetik
                                                Puisi :
                                                (1)     mengemukakan kehidupan batin religius yang venderung ke mistik;
                                                (2)     cerita, lukisan yang bersifat alegoris atau parabel.
                                                Prosa :                                                                       
                                                (1)     mengeksploitasi kehidupan manusia sebagai individu; bukan sebagai makhluk komunal;
                                                (2)     mengemukakan kehidupan yang absurd.



2.   SEJARAH PUISI INDONESIA MODERN :
      SEBUAH IKHTISAR

1.   Periodesasi Puisi Indonesia Modern
               Sejarah sastra tidak lepas dari masalah periodesasi untuk menunjukkan perkembangan sastra dari periode ke periode. Lahirnya kesusastraan Indonesia modern itu bukan hanya ditentukan oleh sastra prosa saja, melainkan juga ditentukan sastra puisi, lahirnya puisi modern itu merupakan respons terhadap puisi lama.
               Pembabakan waktu yang ada dalam kesusastraan Indonesia modern sebagai berikut :
      I.       Masa Kebangkitan (1920-1945)
      II.      Masa Perkembangan (1945-sekarang)
      Masa perkembangan terdiri atas 3 periode :
      1.      periode ’20
      2.      periode ’33
      3.      periode ’42
      Masa perkembangan ada 2 periode :
      1.      periode ’45
      2.      periode ’50
               Model periodesasi Nugroho itu dipergunakan juga oleh Ajip Rosidi (1969:13).
      I.       Masa Kelahiran dan Masa Penjadian (+ 1900-1945)
      1.      periode awal 1933
      2.      periode 1933-1942; dan periode 1942-1945.
      II.      Masa Perkembangan (1945 hingga sekarang)
      1.      Periode 1945-1953
      2.      Periode 1953-1961, dan
      3.      Periode 1961 sampai sekarang (1969)

               Berdasarkan ciri-ciri tiap periode, pembabakan waktu puisi Indonesia modern dapat disusun sebagai berikut.
      1.      a.      Periode Pra-Pujangga Baru : 1920-1933;
               b.      Periode Pujangga Baru : 1933-1942;
      2.      Periode angkatan 45 : 1942-1955;

      3.      Periode 50-60-an : 1955-1970; dan
      4.      Periode 70-80 : 1970-1990.

 2.  Periode Pujangga Baru (1920-1942)
               Dalam periodesasi puisi periode Pujangga Baru itu meliputi kurun waktu 1920-1952. Pujangga Baru mengikuti aliran romantik Gerakan 80 Belanda  (Jassin, 1963:29-31). Aliran romantik itu berpengaruh dalam struktur dan ragam sajak-sajaknya dan pemilihan objek-objek, masalah-masalah, serta muatan perasaan dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Para penyair Pujangga Baru menyukai bentuk balada yang juga disukai oleh para penyair romantik Barat baik di Inggris atau di Belanda para penyair Gerakan 80.

3.   Periode Angkatan 45 (1942-1955)
               Puisi Angkatan 45 merupakan respons kepada puisi Pujangga Baru. Puisi Angkatan 45 beraliran realisme yang mengutamakan penggambaran kehidupan secara nyata. Di samping itu, Angkatan 45 mengikuti aliran ekspresionisme dalam gaya pengucapannya.
               Sajak-sajak Angkatan 45 dapat dipandang sebagai reaksi ataupun respons terhadap sajak-sajak Pujangga Baru. Gayanya lebih bersifat pernyataan pikiran.
               Penyair-penyair Angkatan 45 diantologi oleh HB. Jassin dalam Gema Tanah Air (1948), Kesusastraan Indonesia Di Masa Jepang (1948).
               Penyair yang dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 adalah Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivan Apin. Selain ketiga penyair itu, yang produktif diantaranya adalah Mahtmanto, Toto Sudarto Bachtiar, Harijadi S. Hartowardojo, Siti Nuraini, dan Mohamad Ali.

4.   Periode 50-an dan 60-an (1955-1970)
               Periode 50-an dan 60-an pada dasarnya masih meneruskan konvensi Angkatan 45. Periode ini gaya pernyataan Angkatan 45 menjadi berkurang dan berubah menjadi gaya bercerita. Periode ini berkembang puisi epik yang terkenal dengan balada. Puisi Angkatan 45 pada umumnya mencari bahan-bahan sekitar masalah perang.
               Kumpulan sajak yang penting pada periode 1955-1970 ialah Etsa dan Suara karya Toto Sudarto Bactiar. Pada paro kedua tahun 1960-an terbit sajak-sajak perlawanan akibat demonstrasi kaum muda angkatan 66 menentang Orde Lama yang berdasarn politik Nasakom yang kontroversial dengan Pancasila. Paro kedua tahun 1960-an timbul penyair-penyair yang nanti akan berpengaruh pada periode 1970-1990.

5.   Periode 1970-1990
               Pada periode 1970-1990 ini terbit kumpulan-kumpulan puisi, baik puisi para penyair yang muncul sebelum tahun 1970 maupun sesudahnya. Penyair-penyair periode 1955-1970 masih menulis juga dan menerbitkan kumpulannya pada periode 1970-1990.
               Pada tahun 1970-1990 ada bermacam-macam ragam puisi Indonesia modern, yang terutama ada 4 ragam corak,yaitu puisi bergaya mantra, puisi imajisme, puisi lugu dan puisi lirik biasa.

6.   Antologi Puisi Indonesia Modern
               Beberapa antologi sastra, HB. Jasin lah yang pertama kali menyusun antologi alias bunga rampai sastra yang terbanyak. Sultan Takdir Alisjahbana yang pertama kali menyusun antologi puisi seperti tampak pada : Puisi Baru yang merupakan antologi puisi Pujangga Baru. Ajip Rosidi antologi sastra periode 1955-1970.
3.   PERKEMBANGAN YANG DIALEKTIS DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA MODERN (DIALEKTIKA KEDAERAHAN – NASIONAL – INTERNASIONAL – KEDAERAHAN)

      Kesusastraan Indonesia modern merupakan respons atau tanggapan terhadap kesusastraan Indonesia lama yang merupakan kesusastraan daerah-daerah atau sastra Nusantara. Kesusastraan Indonesia modern lahir dengan terbitnya sajak Indonesia modern pertama kali yang ditulis oleh Mohamad Yamin, berjudul Tanah Air ditulis di Bogor Juli 1920 (dimuat dalam majalah Jong Sumatra, No.4, th III, 1920 hlm.52). Pada tahun 1921 terbit roman Indonesia modern pertama kali berjudul Azab dan Sengsara, ditulis oleh Merari Siregar, diterbitkan oleh Balai Pustaka tetapi sebelumnya sudah ada roman yang terbit pada tahun 1919 ditulis oleh Semaun berjudul Student Hijo (Teeuw, 1980:53). Kelahiran kesusastraan Indonesia modern atau sastra Indonesia modern adalah tahun 1920. Demikianlah karya sastra Indonesia modern (Notosusanto, 1963:205-26) lahir dengan terbitnya karya-karya sastra tersebut, tahun 1920.
      Karya sastra Indonesia modern ini lahir berkat pengenalan para sastrawan (muda) Indonesia terhadap kesusastraan Barat, khususnya lewat sastra Belanda. Bentuk baru dalam karya sastra Indonesia modern awal, yaitu sastra Balai Pustaka, sebelum Perang Dunia II. Dalam sastra Indonesia modern awal yaitu sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang menonjol adalah sifat internasional atau universal.
      Pada pertengahan tahun 1940-an, lahirlah sajak Chairil Anwar berjudul “Cerita Buat Dien Tamaela”. Pada pertengahan tahun 1950-an dan yang pertama kali secara eksplisit mempergunakan nama balada adalah W.S Rendra. Ia menulis sajak-sajak balada yang kemudian diantaranya dibukukan dalam Balada Orang-orang Tercinta (1957). Sajak balada ini menghendaki bahan-bahan dari sastra daerah, cerita rakyat, dan kepercayaan lama. Dunia balada adalah dunia magis, misterius, dan barbar (Graves, 1963:viii), berisi kepercayaan lama yang asli milik suku-suku purba.
      Awal sastra Indonesia modern, tampaklah bahwa unsur sastra daerah direspons oleh sastra internasional, kemudian unsur sastra internasional itu direspons unsur latar sosial-budaya daerah, termasuk unsur sastra daerah, kemudian masuk lagi arus unsur sastra internasional, tetapi sekaligus disertai tampilnya latar sosial-budaya daerah yang makin gencar. Hal demikian ini berlangsung terus sampai sekarang.
      Pada tahun 1970-an dan 1980-an, novel-novel dan cerpen-cerpen N.H Dini mengambil latar belakang tempat dan sosial-budaya asing, terutama Jepang dan Perancis. Unsur sastra universal dan unsur-unsur sosial-budaya daerah (Nusantara) secara “serentak” masuk dalam sastra Indonesia modern. Dalam tahun 1980-an selama satu dekade, karya-karya sastra yang menampilkan latar sosial-budaya daerah makin berkembang.



4.   PUSAT PENGISAHAN METODE ORANG PERTAMA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ROMAN DAN NOVEL INDONESIA MODERN

1.   Pengertian Pusat Pengisahan dan Metode-metodenya
               Pusat pengisahan ini merupakan cara bercerita dari titik pandang mana atau siapa cerita itu dikisahkan. Pusat pengisahan ini menunjukkan pertalian antara pencerita (narator) dengan ceritanya. Pencerita atau narator dapat mengisahkan cerita orang lain sebagai orang ketiga atau dengan metode orang ketiga (metode dia, mereka).
               Metode orang pertama pun ada dua macam, yaitu pertama, metode orang pertama sertaan, di sini narator menceritakan pengalaman atau ceritanya sendiri, si pencerita menyebut tokoh utama sebagai aku. Yang kedua, dalam metode aku tak sertaan narator sebagai aku menceritakan atau menyaksikan tokoh utama, baik tokoh utama beraku atau diceritakan sebagai dia atau mereka.

2.   Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama Roman Balai Pustaka
               Pada periode Balai Pustaka, kebanyakan roman mempergunakan pusat pengisahan metode orang ketiga, khususnya dapat digolongkan metode orang ketiga romantik-ironik yang sesuai dengan orientasi sastranya yang pragmatik.

3.   Pusat Pengisahan Atheis
               Dalam hubungan ini, Atheis karya Achdiat Kartamihardja dapat disebut sebagai karya sastra yang mentransformasikan Di Bawah Lindungan Kaabah (DLK) sebagai hipogramnya. Dalam hal ini yang ditransformasikan adalah struktur penceritaannya yang berupa alurnya dan juga pusat pengisahannya. Transformasi adalah suatu pemindahan dari karya sastra yang lain, yang pada hakikatnya sama, tetapi dalam bentuk yang lain.
               Pusat pengisahan erat hubungannya dengan alur, dan sebaliknya. Tampak dalam struktur DLK maupun Atheis. Seperti halnya DLK, Atheis juga merupakan cerita berbingkai dengan alur sorot-balik.

4.   Pusat Pengisahan Gairah untuk Hidup dan untuk Mati
                 Seperti halnya DLK, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (GHM) pun terjadi percampuran pusat pengisahan metode orang pertama tak sertaan dengan metode orang pertama sertaan, sedang dalam Atheis terjadi percampuran kisahan metode orang pertama tak sertaan, orang pertama sertaan, dan metode orang ketiga. Kesemuanya itu mempengaruhi pengaluran dan penokohannya, terutama tokoh pembantu untuk penyelesaian cerita aku sertaan sampai tamat.

5.   Pusat Pengisahan pada Sebuah Kapal
               Pada Sebuah Kapal (PSK) novel N.H Dini menunjukkan perkembangan pusat pengisahan metode orang pertama yang lain dari DLK, Atheis dan GHM. PSK ini ada dua aku sertaan seperti halnya DLK, aku Hamid dan Zainab. Dalam PSK ini dipergunakan yang masing-masing adalah tokoh-tokoh utama dalam cerita pelaut, yang masing-masing adalah tokoh utama dalam cerita yang dikisahkannya sendiri-sendiri.

6.   Pusat Pengisahan Raumanen
               Novel Marianne Katoppo ini, tokoh utama cerita itu adalah Raumanen, tokoh kedua Monang atau Hamonangan. Ceritanya adalah cerita percintaan yang gagal antara Raumanen gadis Menado dan Hamonangan pemuda Batak. Kegagalan dalam arti bahwa percintaan mereka tidak sampai pada perkawinan, disebabkan adat kawin paksa Batak yang keras meskipun tidak di tanah Batak, tetapi terjadi di Jakarta. Kegagalan itu juga disebabkan kepengecutan Monang yang tidak berani menentang kemauan ibunya yang keras untuk mengawinkannya dengan gadis Batak yang sesuku. Padahal, Raumanen sudah dihamili Monang. Akibatnya Raumanen bunuh diri.
7.   Pusat Pengisahan Burung-burung Manyar
               Burung-burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya menggunakan campuran kisahan metode orang pertama dan metode orang ketiga juga seperti Atheis. Tekniknya mirip Raumanen, kedua metode itu diseling-seling. Hanya saja, cerita yang ditandai adalah cerita alam hidup, cerita tokoh utama dan cerita tokoh kedua diseling-seling.

8.   Pusat Pengisahan Olenka
               Olenka novel Budi Darma menunjukkan metode pusat pengisahan yang baru. Dalam Olenka ini, tokoh aku sekaligus menjadi tokoh aku sertaan yang membingkai tokoh utama, Olenka, dan tokoh aku sertaan yang terlibat kehidupan Olenka secara langsung karena ia jatuh cinta pada Olenka. Tokoh aku tak sertaan dan aku sertaan seklaigus ini adalah Fanton Drummond.

9.   Pusat Pengisahan Para Priyayi
               Para Priyayi (1992) novel Umar Kayam merupakan perkembangan terakhir dalam pusat pengisahan metode orang pertama. “Uniknya” semua tokoh dalamnya menceritakan dirinya sendiri dan pengalamannya dengan metode orang pertama sertaan. Uniknya lagi, tiap-riap cerita para tokoh itu selalu bersambungan secara progresif, dalam arti kisah tokoh yang berlaku merupakan lanjutan kisah tokoh sebelumnya secara kronologis berurutan. Waktunya antara awal tahun 1990-an sampai tahun 1967.



5.   KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN DAN PERMASALAHANNYA

1.   Kritik Sastra Indonesia Modern dan Permasalahannya
               Dengan lahirnya kesusastraan Indonesia moder, sekitar tahun 1920 hingga sekarang, kritik sastra Indonesia modern selalu diringi masalah, baik yang praktis maupun yang teoritis. Masalah kritik sastra itu meliputi hal-hal di sekitar kurangnya tempat, kurangnya kritikus sasrta (yang profesional), tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan para sastrawan, tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan kritik dengan corak dan wujud kesusastraan Indonesia modern yang bersifat nasional (dan regional), pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik, dan sebagainya.
               Kritik sastra Pujangga Baru dapat dikatakan menjadi pendasar kritik sastra Indonesia modern. Meskipun sebelumnya sudah ada kritik sastra Balai Pustaka, tetapi secara nyata kritik sastra Balai Pustaka tidak dikenal umum karena hanya terbatas pada pertimbangan buku di kalangan Balai Pustaka saja. Hal ini berbeda dengan kritik sastra Pujangga Baru yang disiarkan dalam majalah Pujangga Baru sejak Juli 1993.

2.   Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Sastrawan
               Para penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode tahun 1920-1955 itu merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya impresionistik, bertipe ekspresif dan pragmatik.
               Kurang lebih pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra yang baru, yaitu kemudian tekenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah. Corak kritik akademik ini berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastranya berupa penelitian ilmiah terhadap karya sastra dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya ialah pembicaraan yang sampai kepada hal-hal yang berkecil-kecil, ada analisis yang merenik, disusun dalam susunan sistematik.
               Periode 1956-1975 merupakan periode kritik akademik taraf pertama, di situ tampak kritik akademik itu mempergunakan metode ilmiah dengan prinsip-prinsip kritik sastra yang umum. Baru sesudah tahun 1975, timbul kritik sastra ilmiah yang baru, yaitu di samping menggunakan metode ilmiah yang umum, kritik sastra akademik yang baru ini mempergunakan teori kritik sastra yang khusus dengan metodenya yang khusus pula.


6.   KONKRETISASI SASTRA
     
1.   Pendahuluan
               Dalam konkretisasi sastra diperlukan pemahaman atas konvensi-konvensi tambahan yang mendasari makna karya sastra tersebut. Karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya.

2.   Analisis Struktural dan Semiotik sebagai Usaha Pemberian Makna Karya Sastra
               Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama.

3.   Intelektualitas sebagai Saran Pemberian Makna
               Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki daam kontrasnya dengan hipogramnya. Misalnya, dalam hal masalah empansipasi roman Belenggu mendapat makna hakikinya bila dikontraskan dengan Layar Terkembang yang menjadi hipogramnya. Begitu juga makna Layar Terkembang akan mendapat makna lebih penuh bila dijajarkan dengan roman Siti Nurbaya yang menjadi hipogramnya. Layar Terkembang meneruskan ide-ide emansipasi yang dikemukakan oleh Siti Nurbaya. Belenggu menentang ide emansipasi yang berlebih-lebihan yang menyebabkan kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia, penuh ketidakharmonisan, dan ketegangan. Semua itu tergambar dalam Belenggu. Hal ini kontras dengan ide emansipasi dalam Layar Terkembang yang menghendaki wanita bebas menentukan nasibnya, bahkan kalau perlu tidak usah kawin bila cinta dan haknya tidak sama dengan laki-laki.

4.   Pemberian Makna Berdasar Relevansi Latar Sosial-Budaya
               Untuk memahami dan memberi makna kepada karya sastra, latar sosial-budaya ini harus diperhatikan. Misalnya saja bila pembaca (kritikus) hendak memahami (memberi makna) novel Upacara karya Konie Layun Rampan, maka diharapkan orang dapat memahami latar masyarakat dan budaya Dayak.
               Bila pembaca (kritikus) akan memberi makna (menangkap makna) sajak-sajak Subagio Sastrowardjojo dan Linus Suryadi Ag. yang berlatar belakang budaya wayang, maka tidak boleh tidak latar belakang wayang yang bersangkutan harus diketahui atau harus diterangkan dengan jelas mengenai hubungan antar-tokohnya, peristiwa-peristiwa, dan konteks ceritanya.

5.   Pengarang / Penulis sebagai Pemberi Makna Sastra
               Karya sastra tidak lepas dari penulisnya. Penulis / pengarang memberikan intensinya dalam karyanya. Karya sastra merupakan luapan atau penjelmaan perasan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak dapat diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan.

6.   Pembaca sebagai Pemberi Makna Sastra
               Karya sastra tidak akan mempunyai makna bila tidak diberi makna oleh pembaca, maka sesungghnya pembaca (termasuk kritikus dan ahli sastra) mempunyai peranan yang sangat penting dalam konkretisasi.
               Dalam hal konkretisasi ini, pembaca tentu tidak boleh mengabaikan sistem tanda kesastraan yang mempunyai konvensi sendiri, baik konvensi bahasa maupun konvensi sastra sebagai konvensi tambahan.



7.   Penelitian Sastra Dengan Pendekatan Semiotik

1.   Pengertian Semiotik
               Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial / masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda  yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

2. Tanda: Penanda Petanda
               Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan petanda (signifzed) jadi penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan penanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu. Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks dan simbol.

3. Bahasa dan Sastra (kesusastraan)
               Sastra (karya sastra) merupakan arya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa sastra adalah bahasa yang sudah berarti. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra, sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri

4. Metode Semiotik dalam Penelitian
               Penelitian harus menyedirikan satuan-sauan minimal yang digunakan oleh sistem tersebut. Karena karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri.

5. Konvensi Keaklangsungan Ekspresi
               Ketidaklngsungan konvensi itu menurut Riffaterre disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).     
 6. Penunjukkan Teks ke Teks Lain: Hubungan Intertekstual
               Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain jadi teks dalam dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan saja. Oleh karena itu karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus.

7.   Pembacaan Semiotik: Heuristik dan Hermeneutik atau Retrokatif
               Untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau rektroaktif, pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi system semiotic tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua.

















8.   Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik

1.   Analisis Struktural Dan Semiotik
               Analisis struktural ini merupakan prioritas utama sebelum yang lain-lainnya. Tanpa itu kebulatan makna intrinsic yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri tidak akan tertangkap.
               Analisis semiotik itu tidak dapat dipisahkan dari analisis structural, dan sebaliknya,. Bagian-bagian ( unsur-unsur ) karya sastra itu mempunyai makna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya, Oleh karena itu strukturnya harus dianalisis dan bagian-bagiannya yang merupakan tanda-tanda yang bermakna dalamnya harus dijelaskan.

2.   Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
               Menurut Riffaterre ketidaklangsungan puisi itu disebabkan oleh tiga hal yaitu:
a.       Penggantian arti (displacing) adalah suatu kata (kiasan)
      Berarti yang lain tidak menurut arti yang sesungguhnya.
b.      Penyimpangan Arti
      Menurut Riffaterre penyimpangan arti terjadi bila ada sajak ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
c.       Penciptaan Arti
      Terjadi penciptaan arti bila ruang teks (spasi teks)berlaku sebagai prinsip peerorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya.

3.   Hubungan Intertekstual
               Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan  intekstualitas antara suatu karya karya sastra dengan karya sastra yang lain, baik antar karya sastra sezaman ataupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Maka untuk memahami dan mendapatkan makana penuh sebuah sajak perlu dilihat hubungan intertekstualitasnya.
9.   Hubungan Intertekstual dalam Sastra Indonesia.

1.   Pengertian
               Hubungaan Intertekstual hanya dapat dipahami dengan baik sesudah diketahui bagaimana wujud kritik sastra dan perdebatannya sepanjang sejarah kritik sastra, maka wujud kritik sastra dan perdebatan-perdebatannya hanya diuraikan mengenai yang perlu-perlu saja.

2.   Orientasi Sastra
               Dalam bidang kritik sastra dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra: alam (universe), pembaca, pengarang (artist), dan karya sastra. Keempat pendekatan ini sepanjang sejarahnya telah mengalami pendebatan-pendebatan dan dialektika yang tidak ada henti-hentinya hingga sekarang.

3.   Hubungan Intertekstual
               Dalam kesusastraan Indonesia modernpun dapat kita jumpai hubungan intertekstual antara karya sastra, baik prosa maupun puisi.

4.   Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia
               Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia, misalnya dapat dilihat antara Dibawah Lindungan Kaabah (DLK) karya Hamka dengan Atheis karya Achdiat Kartamiharja dan Gairah untuk Hidup dan untuk Mati karya Nasijah Djamin (GMH), bahkan juga Burung-Burung Manyar karya YB. Mangunwijaya.
               Tampak adanya hubungan intertekstual antara DLK, Atheis, dan GHM tertutama mengenai struktur cerita (alur) dan pusat pengisahannya di samping masing-masing mempunyai kerkhasannya sendiri-sendiri.
               Ketiganya (DLK, Atheis, GHM) berstruktur terdiri dari tiga bagian, beralur sorot balik, berpusat pengisahan metode orang pertama digabungkan dengan metode orang ketiga.

5.   Hubungasn intertekstual dalam Puisi Indonesia Modern.
               Intertekstual puisi sastra Indonesia modern dapat dilihat misalnya antara sajak-sajak Amir Hamzah dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Intertekstualnya antar sajak-sajak mereka itu pada umumnya menunjukan adanya hubungan pertentangan. Terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisiaan sajak-sajak Pujangga Baru (dan sajak lama).
               Sajak-sajak Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang jelas menunjukan adanya intertekstualitas adalah “Berdiri Aku” (Amir Hamzah) dengan “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar), “Padamu Jua” (Amir Hamzah) dengan “Doa” (Chairil Anwar), “Dalam Matamu” dan Harum Rambutmu” (Amir Hamzah) dengan “Sajak Putih” (Chairil Anwar), “Kusangka” (Amir Hamzah) dengan “Penerimaan” (Chairil Anwar).


















10. Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru

1.   Pendahuluan
               Hubungan intertekstual atau hubungan antarteks karya sastra sangat penting untuk diteliti dalam stadi sastra, baik dalam bidang kritik maupun sejarah sastra.

2.   Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka
               Roman Indonesia Modern yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1921. Sesudah itu muncullah roman-roman yang lain. Roman yang memasalahkan adat, terutama adapt yang berhubungan dengan perkawinan yang terkenal dengan kawin paksa, dapat dikatakan menjadi hipogram roman-roman yang terbit sesudahnya. Hubungan antarteks ini bukan hanya mengenai pikiran-pikiran yang dikemukakan, melainkan juga mengenai struktur penceritaan atau alurnya. Roman Azab dan Sengsara sendiri berhiprogram roman-roman Hindia Belanda, seperti dikemukakan oleh Subagio Sastrowardoyo bahwa roman-roman Indonesia pada tahap permulaannya mempergunakan roman-roman Hindia Belanda sebagai acuan cerita (Hipogram). Akan tetapi, tidaklah salah bila dikatakan bahwa Azab dan Sengsara merupakan Hipogram atau model roman-roman yang diterbitkan sesudahnya.

3.   Hubungan Interekstual antara Siti Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu
               Pembicaraan hubungan intertekstual antara roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, da Belenggu, karya Armijn Pane, adalah khusus mengenai emansipasi wanita.
a.       Masalah Emansipasi Wanita dalam Siti Nurbaya
               Dalam Siti Nurbaya, masalah emansipasi wanita itu dipercakapkan secara verbal antara Siti Nurbaya dengan Alimah, sepupunya, di dalam kamar. Masalah emansipasi bersifat verbal ini kemudian diserap dan di transformasikan Takdir Alisjahbana dalam Layar Terkembang. (begitu juga oleh Armijn Pane dalam Belenggu meskipun ia lebih mengacu kepada Layar Terkembang).
b.      Masalah Emansipasi Waanita dalam Layar Terkembang
               Masalah emansipasi wanita yang bersifat verbal dalam Siti Nurbaya itu dapat transformasikan dalam Layar Terkembang diwujudkan dalam cerita, bahkan didramatisir, dengan diberi tokoh Tuti sebagai seorang wanita pejuang emansipasi wanita, tokoh organisasi wanita yang selalu memperjuangkann persamaan hak dan wanita dengan pria. Perjuangan wanita ini digemakan dalam pidato-pidato Tuti di depan Majelis secara bergelora dan menggebu-gebu. Begitu juga Tuti berusaha mengamalkan persamaan hak ini dalam kehidupannya. Ia mengajak kau wanita untuk menyadari hak dan kewajibannya dan mengamalkan dalam kehidupannya demi dan demi kemajuan nusa bangsa.
c.       Masalah Emansipasi Wanita dalam Belenggu
               Dalam Belenggu nampak adanya ekses emansipasi wanita yang secara menggebu-gebu yang di perjuangkan Takdir lewat tokoh Tuti. Belenggu mereaksi ini dengan menampilkan tokoh Tini “yang sangat terpelajar”, yang sangat tahu atas hak-haknya. Jadi, hubungan intertekstual antara Layar Terkembang dengan Belenggu itu adalah hubungan pertentangan.









11. Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya

-     Metode Estetika Resepsi
               Dalam teori estetika resepsi, yang menjadi perhatian utama adalah pembaca karya sastra diantara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Dalam metode estetika resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh karya sastra pembacanya. Dengan demikian, penelitian dengan metode estetika resepsi, seperti juga dikemukakan oleh Segers, ialah 1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya dan 2) meneliti hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak dan di lain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra denga konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi itu.
-          Penerapan Estetika Resepsi
               Dalam meneliti karya sastra berdasarkan metode estetika resepsi, sesungguhnya dapat di lakukan dalam dua cara, yaitu cara sinkronik dan diakronik.
      Penelitian Estetika Resepsi Naskah Tulisan Tangan Sastra Lama
               Bila peneliti meneliti salah satu naskah dari periode tertentu, maka resepsi pembaca pada periode itulah yang harus dikaji. Dikaji bagaimana norma-norma sastra pada peride itu ; dikaji konkretisasinya berdasarkan norma-norma yang berlaku, dan juga pandangan-pandangan masyarakat pada periode itu.
      Penelitian Estetika Resepsi pada Karya Sastra Modern
               Secara relatif penelitian resepsi karya sastra modern lebih mudah daripada penelitian resepsi kaarya sastra lama, dalam arti, bahwa tanggapan-tanggapan atas karya sastra modern masih mudah di dapatkan sebab jarak antara peneliti dengan waktu terbitnya belum jauh sehingga naskahnya masih tersimpan, dan secara relatif lebih mudah di dapatkan.


12.Tinjauan Resepsi Sastra Beberapa Sajak Chairil Anwar

1.   Pengantar
               Chairil Anwar dianggap sebagai penyair yang sangat penting karena sajak-sajaknya dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan-tanggapan atau persepsi para pembaca sastra, termasuk para kritikus. Tanggapan tersebut bermacam-macam berdasarkan horizon harapan masing-masing pembaca ataupun horizon pembaca pada tiap periode.

2.   Kerangka Teori dan Metode Estetika Resepsi
      1)      Teori estetika resepsi
                        Ilmu sastra yang berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut estetika resepsi, yaitu ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca atau resepsi pembaca terhadap karya sastra.
                        Dalam metode estetika resepsi, diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode. Dengan demikian, penelitian dengan metode estetika resepsi, ialah dengan merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam massa sejarahnya, dan meneliti hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak dan di lain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi itu.

3.   Resepsi terhadap Beberapa Sajak Chairil Anwar
               Sejak terbitnya sampai sekarang, sajak-sajak Chairil Anwar mendapat resepsi para pembacanya baik resepsi positif maupun yang negate, yang disebabkan oleh horizon maupun yang berbeda. Dikatakam Jassin bahwa sajak-sajak Chairil Anwar memberi udara baru yang segar bagi kesusastraan Indonesia. Individualitasnya merupakan pemberontakan terhadap kekuasaan satu Negara yang tidak membiarkan kebebasan berpikirpun dalam seni dan budaya. Sajak-sajak Chairil mengahiri zaman syair dan pantun yang tradisinya masih di teruskan oleh pujangga baru meskipun dengan kejiwaan baru. Akan tetapi pekerjaan pujangga baru setengah-tengah, iramanya masih pantun dan syair meskipun para penyair Pujangga Baru bersemboyan mencontoh Angkatan 80 Belanda. “Sajak-sajak Pujangga Baru masih berkompromi dengan sajak-sajak lama. Dengan munculnya Chairil Anwar, mulailah tradisi baru.

4.   Resepsi terhadap Sajak “Sebuah Kamar”
      Sajak ini ditulis pada tahun 1946

SEBUAH KAMAR
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
Pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
Mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini Aku salah satu !”.

Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian sepi selalu,
Bapakku sendiri berbaring jemu
Matanys menatap orang tersalib di batu !

Sekeliling dunia bunuh diri !
Aku minta adik kagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
Diluar hitungan: Kamar begini,
3 X 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa !

               Sajak  “Sebuah Kamar” ini secara secara estetis dan ekstra estetis bernilai, memenuhi kriteria dule et utile sebagai fungsi karya sastra yang dikemukakan Horace.

13. Tanggapan Pembaca Terhadap Belenggu

               Menurut Dimiyati, Belenggu itu kurang bernilai sastra karena tanpa tendens dan bahasanya buruk.
               Menurut Soejono Soerjotjondro secara singkat ia menanggapi Belenggu. Dikatakannya bahwa dengan terbitnya buku baru (Belenggu) itu pasti ada yang setuju dan tidak. Ia senangkan terbitnya buku itu meskipun belum puas.
               Seorang pembaca yang menanggapi belenggu dengan sikap yang moderat adalah S. Danilla (1941: 171-174). Dia mengemukakan bahwa belenggu itu menarik hati karena mengemukakan masalah “ soal yang hidup “, keadaan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat Indonesia dan karangan itu dan masuk akal. Oleh karena itu, belenggu merupakan sungguh buku yang sangat berharga. Cara melukiskan sifat tokoh dalam cerita itu sungguh tepat benar hingga hidup di depan mat pembaca.
               Dapat di simpulkan bahwa menurut bohang belenggu itu dapat membuat pembaca berkontempelasi, terlibat dalam renungan atas nasib manusia, rahasia hidup, kawin paksa, emansipasi, dan kehidupan bagai kehidupan pembaca sendiri dan secara pragmatis itu berguna bagi masyarakat



Moga bermanfaat...amin



Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH Sejarah Singkat Berdirinya Bengkel

DRAMA SINGKAT 5 ORANG (Menghindari Gibah (Gosip))

ANALISA PELUANG USAHA PERANGKAT KERAS