Budaya Keselamatan
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia
adalah negara yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan asset
Negara yang harus dijaga dan dilestarikan. Dikalangan masyarakat Jawa, tentu
telinga sudah tidakasing lagi dengan kata slametan. Mereka sering mengadakan
acara slmetan dalam waktu-waktu yang mereka anggap spesial.
Ada berbagai macam
slametan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya. Tiap dari upacara
yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan
tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna
mengadakan upacara slametan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi
secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Untuk
itu penulis mengangkat judul “Budaya Slametan dalam Masyarakat Jawa”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
sebagai berikut:
1. Apakah slametan itu?
2. Bagaimana cara melaksanakan dan apa saja
jenis dan tujuan dilaksanakannya slametan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SLAMETAN
Dalam
buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, slametan diartikan sebagai upacara sedekah
makanan dan doa bersama, yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan
ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Biasanya untuk hajatan
keberangkatan naik haji ke tanah suci, keberangkatan anak yang mau sekolah ke
luar daerah, pendirian sebuah rumah, dan sebagainya. Harapan di masa depan yan
glebih cemerlang, disamping harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah
rasional dan yang serba kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan adikodrati
atau supranatural yang bersifat supranatural. Upacara slametan termasuk
kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapat Ridha dari Tuhan. Kegiatan slametan
menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakinibahwa slametan adalah
syarat spiritual yang wajib, dan jika dilanggar akan mendapatkan
ketidakberkahan atau kecelakaan.
Slametan
sendiri berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa.
Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki.
Sehingga
slametan bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya
digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan
memiliki skala yang lebih besar. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan
penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk
menahan kekuatan kekacauan (talak balak).
B. JENIS, CARA MELAKSANAKAN SERTA TUJUAN
DILAKSANAKANNYA UPACARA SLAMETAN
Dalam
makalah ini akan dibahas upacara slametan yang bersifat kecil (individu) dan
besar (kelompok). Ini bertujuan untuk pembahasan lebih detail, mengingat
banyaknya jenis upacara slametan di masyarakat Jawa.
A.
Ngupati dan Mithoni
Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan
yang bernama ngupati. Ngupati berasal dari kata kupat, yakni nama makanan yang
terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Slametan ini
biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 bulan.

Tradisi Ngupat
Tradisi
ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak
yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan
harapan orangtua. Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan
utama.
Dalam
slametan ini, penyelenggara (tuan rumah) mengundang tetangga dekat, sekitar
radius 50 meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan
menyuguhkan kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap
hidangan.
Tradisi
serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoni. Mithoni berasal dari kata pitu (tujuh).
Sebuah ritual hajat slametan pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara
tersebut, disiapkansebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan
Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa
Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika perempuan.
Di
samping kelapa gading, dalam slametan tersebut disajikan
kluban/kuluban/uraban/gudangan (campuan antara taoge, kacang panjang, bayam,
wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-pauk (ikan, tempe, tahun), dan rujak buah. Kepercayaan
mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu (yang mengandung bayi yang
di-slameti) makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar
kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya.

Tradisi Mitoni
Dalam
acara mithoni, ibu tertua mulai memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan
air kembang (bunga) setaman (air yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga,
dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, di mana ibu yang mengandung
(mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai, dilanjutkan dengan
berdoa dan makan nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagaimana disebut
di atas sebagai upaya untuk memohon kepada Tuhan agar anak yang dikandung
nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero (mengangkat derajat)
orangtua dan keluarga.
B.
Tradisi Suran
Suran
berasal dari kata Sura, yakni nama salah satu bulan dalam kalender Jawa, yang
dalam almanak Hijriah disebut muharram. Istilah suran memiliki makna kegiatan
yang dilakukan pada bulan Sura.
Dalam tradisi Jawa, bulan Sura memiliki makna spesial. Bulan ini dinyatakan sebagai bulan paling keramat. Di bulan ini ada beberapa aktivitas yang pantang dilakukan dan wajib dilakukan, misalnya pantang melakukan mantu (pesta pernikahan), pindahan (pindah rumah), mbangun (membangun rumah), dan kegiatan semacamnya. Sebaliknya, sebagian orang melakukan berbagai ritual pada bulan Sura.
Dalam tradisi Jawa, bulan Sura memiliki makna spesial. Bulan ini dinyatakan sebagai bulan paling keramat. Di bulan ini ada beberapa aktivitas yang pantang dilakukan dan wajib dilakukan, misalnya pantang melakukan mantu (pesta pernikahan), pindahan (pindah rumah), mbangun (membangun rumah), dan kegiatan semacamnya. Sebaliknya, sebagian orang melakukan berbagai ritual pada bulan Sura.

Tradisi Suran
Tradisi
slametan sebagaimana disebutkan di atas masih rutin dilakukan terutama pada
masyarakat abangan Jawa dan di lingkungan Kraton di Jawa. Kirap (pengarakan),
jamas (penyucian) pusaka dilaksanakan pada bulan ini. Kirap pusaka Kraton
Surakarta Hadiningrat dilaksanakan secara tetap setiap malam menjelang 1 Sura
Tahun Baru Jawa, yang dimulai kira-kira jam 12 malam hingga jam 4 pagi. Kirap
pusaka adalah ritual (slametan) dengan cara pawai atau arak-arakan beberapa
pusaka keraton Surakarta Hadiningrat yang memiliki daya magis atau daya prabawa
yang dipercaya memiliki kesaktian. Pusaka yang dikirap adalah peninggalan
Majapahit dan sebelumnya.
Sebelum kirab dimulai, diadakan slametan dan sesaji murwah warsa di keraton. Rute kitab adalah Alun-alun Utara, Gladag, Sangkrah, Jalan Pasar Kliwon, Gading, Nonongan, Jalan Slamet Riyadi, ke arah timur menuju Gladag lagi, Alun-alun Utara, Kamandungan, dan masuk Keraton. Jalan yang dilalui jalan yang mengelilingi Keraton Surakarta dengan arah pradiksana (kanan Kraton).
Sebelum kirab dimulai, diadakan slametan dan sesaji murwah warsa di keraton. Rute kitab adalah Alun-alun Utara, Gladag, Sangkrah, Jalan Pasar Kliwon, Gading, Nonongan, Jalan Slamet Riyadi, ke arah timur menuju Gladag lagi, Alun-alun Utara, Kamandungan, dan masuk Keraton. Jalan yang dilalui jalan yang mengelilingi Keraton Surakarta dengan arah pradiksana (kanan Kraton).
Dalam
pelaksanaan kirab, yang paling di depan adalah Kebo Bule Kiai Slamet (Kerbau
Bule yang diberi nama Kiai Slamet) sebagai cucuking lampah (pendahulu
perjalanan). Di belakannya diikuti oleh para pengarak pembawa pusaka yang
disebut Gajah Ngoling. Semula Kiai Slamet adalah nama sebuah pusaka yang
berbentuk tombak, sedangkan Kebo Bule adalah nama dari embang (sarung) dari
pusaka tersebut.

Upacara kirap pusaka
Upacara
kirap pusaka, mula-mula adalah kegiatan tambahan pada acara Wilujeng Nagari
(keselamatan negara). Sebuah hajat kenegaraan yang dilaksanakan pada setiap
tahun sejak jaman Majapahit. Tujuan kegiatan ini adalah memohon keselamatan
negara.
Pada
jaman Majapahit hingga jaman Demak, wilujeng negari bernama Murwa Warsa, atau
Rajawedha. Slametan ini menggunakan sesaji dari berbagai suguhan makanan, yang
di antaranya adalah daging kerbau (mahesa). Dengan menggunakan dominasi daging
mahesa (kerbau), maka upacara slametan ini disebut dengan Mahesa Lawung.
Upacara ini diselenggarakan di salah satu hutan keramat, yakni Krendawahana.
Salah satu hutan yang dipercayai oleh masyarakat Jawa bagian selatan sebagai
salah satu pusat lelembut (dunia makhluk yang tidak tampak).
Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa, istilah yang sangat akrab adalah sesaji. Istilah lainnya dikenal dengan sajen. Sajen atau sesaji adalah persembahan pada makhluk halus sebagai upaya pendekatan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain, tujuan sajen adalah untuk keselamatan.
Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa, istilah yang sangat akrab adalah sesaji. Istilah lainnya dikenal dengan sajen. Sajen atau sesaji adalah persembahan pada makhluk halus sebagai upaya pendekatan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain, tujuan sajen adalah untuk keselamatan.
Maksud
dan tujuan yang bermacam-macam tersebut sangatlah penting untuk kita hormati.
Walaupun ada sebagian yang mengarah pada perbuatan syirik, kita harus
menghormati adanya plurlisme yang terkandung dalam upacara slametan. Tidak lain
adalah sikap multikulturalisme yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi
masalah-masalah perbedaan maksu dan tujuan diadakannya prosesi slametan.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tradisi
slametan berakar dari budaya asli Jawa dan tumbuh berkembang dalam masyarakat
jawa. Slametan sendiri dapat disimpulkan sebagai upacara atau ritual suatu
idividu atau kelompok, dengan cara melakukan kegiatan tertentu untuk mengharap
keselamatan.
Tidak
jarang upacara slametan juga didasari untuk mengharap tolak balak (dijauhkan
dari mala petaka).
Tradisi
ini seperti sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Jawa. Ada juga yang salah kaprah, terlalu
mengagungkan prosesi ini. Menghadapi pluralisme semacam ini, kita harus
bersifat multikulturalisme.
B. SARAN
Setiap
orang pasti dihadapkan dalam sutu pluralisme budaya. Untuk menghadapi hal
tersebut, kita harus mencari sumber agar mengerti dan mendalami suatu budaya,
sehingga kita akan bisa mengambil tindakan untuk mengikuti atau tidak budaya
yang kita hadapi, termasuk tradisi slametan.
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia
adalah negara yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan asset
Negara yang harus dijaga dan dilestarikan. Dikalangan masyarakat Jawa, tentu
telinga sudah tidakasing lagi dengan kata slametan. Mereka sering mengadakan
acara slmetan dalam waktu-waktu yang mereka anggap spesial.
Ada berbagai macam
slametan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa khususnya. Tiap dari upacara
yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan
tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna
mengadakan upacara slametan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi
secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Untuk
itu penulis mengangkat judul “Budaya Slametan dalam Masyarakat Jawa”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
sebagai berikut:
1. Apakah slametan itu?
2. Bagaimana cara melaksanakan dan apa saja
jenis dan tujuan dilaksanakannya slametan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SLAMETAN
Dalam
buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, slametan diartikan sebagai upacara sedekah
makanan dan doa bersama, yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan
ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Biasanya untuk hajatan
keberangkatan naik haji ke tanah suci, keberangkatan anak yang mau sekolah ke
luar daerah, pendirian sebuah rumah, dan sebagainya. Harapan di masa depan yan
glebih cemerlang, disamping harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah
rasional dan yang serba kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan adikodrati
atau supranatural yang bersifat supranatural. Upacara slametan termasuk
kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapat Ridha dari Tuhan. Kegiatan slametan
menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakinibahwa slametan adalah
syarat spiritual yang wajib, dan jika dilanggar akan mendapatkan
ketidakberkahan atau kecelakaan.
Slametan
sendiri berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa.
Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki.
Sehingga
slametan bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya
digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan
memiliki skala yang lebih besar. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan
penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk
menahan kekuatan kekacauan (talak balak).
B. JENIS, CARA MELAKSANAKAN SERTA TUJUAN
DILAKSANAKANNYA UPACARA SLAMETAN
Dalam
makalah ini akan dibahas upacara slametan yang bersifat kecil (individu) dan
besar (kelompok). Ini bertujuan untuk pembahasan lebih detail, mengingat
banyaknya jenis upacara slametan di masyarakat Jawa.
A.
Ngupati dan Mithoni
Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan
yang bernama ngupati. Ngupati berasal dari kata kupat, yakni nama makanan yang
terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Slametan ini
biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 bulan.

Tradisi Ngupat
Tradisi
ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak
yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan
harapan orangtua. Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan
utama.
Dalam
slametan ini, penyelenggara (tuan rumah) mengundang tetangga dekat, sekitar
radius 50 meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan
menyuguhkan kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap
hidangan.
Tradisi
serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoni. Mithoni berasal dari kata pitu (tujuh).
Sebuah ritual hajat slametan pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara
tersebut, disiapkansebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan
Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa
Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika perempuan.
Di
samping kelapa gading, dalam slametan tersebut disajikan
kluban/kuluban/uraban/gudangan (campuan antara taoge, kacang panjang, bayam,
wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-pauk (ikan, tempe, tahun), dan rujak buah. Kepercayaan
mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu (yang mengandung bayi yang
di-slameti) makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar
kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya.

Tradisi Mitoni
Dalam
acara mithoni, ibu tertua mulai memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan
air kembang (bunga) setaman (air yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga,
dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, di mana ibu yang mengandung
(mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai, dilanjutkan dengan
berdoa dan makan nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagaimana disebut
di atas sebagai upaya untuk memohon kepada Tuhan agar anak yang dikandung
nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero (mengangkat derajat)
orangtua dan keluarga.
B.
Tradisi Suran
Suran
berasal dari kata Sura, yakni nama salah satu bulan dalam kalender Jawa, yang
dalam almanak Hijriah disebut muharram. Istilah suran memiliki makna kegiatan
yang dilakukan pada bulan Sura.
Dalam tradisi Jawa, bulan Sura memiliki makna spesial. Bulan ini dinyatakan sebagai bulan paling keramat. Di bulan ini ada beberapa aktivitas yang pantang dilakukan dan wajib dilakukan, misalnya pantang melakukan mantu (pesta pernikahan), pindahan (pindah rumah), mbangun (membangun rumah), dan kegiatan semacamnya. Sebaliknya, sebagian orang melakukan berbagai ritual pada bulan Sura.
Dalam tradisi Jawa, bulan Sura memiliki makna spesial. Bulan ini dinyatakan sebagai bulan paling keramat. Di bulan ini ada beberapa aktivitas yang pantang dilakukan dan wajib dilakukan, misalnya pantang melakukan mantu (pesta pernikahan), pindahan (pindah rumah), mbangun (membangun rumah), dan kegiatan semacamnya. Sebaliknya, sebagian orang melakukan berbagai ritual pada bulan Sura.

Tradisi Suran
Tradisi
slametan sebagaimana disebutkan di atas masih rutin dilakukan terutama pada
masyarakat abangan Jawa dan di lingkungan Kraton di Jawa. Kirap (pengarakan),
jamas (penyucian) pusaka dilaksanakan pada bulan ini. Kirap pusaka Kraton
Surakarta Hadiningrat dilaksanakan secara tetap setiap malam menjelang 1 Sura
Tahun Baru Jawa, yang dimulai kira-kira jam 12 malam hingga jam 4 pagi. Kirap
pusaka adalah ritual (slametan) dengan cara pawai atau arak-arakan beberapa
pusaka keraton Surakarta Hadiningrat yang memiliki daya magis atau daya prabawa
yang dipercaya memiliki kesaktian. Pusaka yang dikirap adalah peninggalan
Majapahit dan sebelumnya.
Sebelum kirab dimulai, diadakan slametan dan sesaji murwah warsa di keraton. Rute kitab adalah Alun-alun Utara, Gladag, Sangkrah, Jalan Pasar Kliwon, Gading, Nonongan, Jalan Slamet Riyadi, ke arah timur menuju Gladag lagi, Alun-alun Utara, Kamandungan, dan masuk Keraton. Jalan yang dilalui jalan yang mengelilingi Keraton Surakarta dengan arah pradiksana (kanan Kraton).
Sebelum kirab dimulai, diadakan slametan dan sesaji murwah warsa di keraton. Rute kitab adalah Alun-alun Utara, Gladag, Sangkrah, Jalan Pasar Kliwon, Gading, Nonongan, Jalan Slamet Riyadi, ke arah timur menuju Gladag lagi, Alun-alun Utara, Kamandungan, dan masuk Keraton. Jalan yang dilalui jalan yang mengelilingi Keraton Surakarta dengan arah pradiksana (kanan Kraton).
Dalam
pelaksanaan kirab, yang paling di depan adalah Kebo Bule Kiai Slamet (Kerbau
Bule yang diberi nama Kiai Slamet) sebagai cucuking lampah (pendahulu
perjalanan). Di belakannya diikuti oleh para pengarak pembawa pusaka yang
disebut Gajah Ngoling. Semula Kiai Slamet adalah nama sebuah pusaka yang
berbentuk tombak, sedangkan Kebo Bule adalah nama dari embang (sarung) dari
pusaka tersebut.

Upacara kirap pusaka
Upacara
kirap pusaka, mula-mula adalah kegiatan tambahan pada acara Wilujeng Nagari
(keselamatan negara). Sebuah hajat kenegaraan yang dilaksanakan pada setiap
tahun sejak jaman Majapahit. Tujuan kegiatan ini adalah memohon keselamatan
negara.
Pada
jaman Majapahit hingga jaman Demak, wilujeng negari bernama Murwa Warsa, atau
Rajawedha. Slametan ini menggunakan sesaji dari berbagai suguhan makanan, yang
di antaranya adalah daging kerbau (mahesa). Dengan menggunakan dominasi daging
mahesa (kerbau), maka upacara slametan ini disebut dengan Mahesa Lawung.
Upacara ini diselenggarakan di salah satu hutan keramat, yakni Krendawahana.
Salah satu hutan yang dipercayai oleh masyarakat Jawa bagian selatan sebagai
salah satu pusat lelembut (dunia makhluk yang tidak tampak).
Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa, istilah yang sangat akrab adalah sesaji. Istilah lainnya dikenal dengan sajen. Sajen atau sesaji adalah persembahan pada makhluk halus sebagai upaya pendekatan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain, tujuan sajen adalah untuk keselamatan.
Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa, istilah yang sangat akrab adalah sesaji. Istilah lainnya dikenal dengan sajen. Sajen atau sesaji adalah persembahan pada makhluk halus sebagai upaya pendekatan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain, tujuan sajen adalah untuk keselamatan.
Maksud
dan tujuan yang bermacam-macam tersebut sangatlah penting untuk kita hormati.
Walaupun ada sebagian yang mengarah pada perbuatan syirik, kita harus
menghormati adanya plurlisme yang terkandung dalam upacara slametan. Tidak lain
adalah sikap multikulturalisme yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi
masalah-masalah perbedaan maksu dan tujuan diadakannya prosesi slametan.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tradisi
slametan berakar dari budaya asli Jawa dan tumbuh berkembang dalam masyarakat
jawa. Slametan sendiri dapat disimpulkan sebagai upacara atau ritual suatu
idividu atau kelompok, dengan cara melakukan kegiatan tertentu untuk mengharap
keselamatan.
Tidak
jarang upacara slametan juga didasari untuk mengharap tolak balak (dijauhkan
dari mala petaka).
Tradisi
ini seperti sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Jawa. Ada juga yang salah kaprah, terlalu
mengagungkan prosesi ini. Menghadapi pluralisme semacam ini, kita harus
bersifat multikulturalisme.
B. SARAN
Setiap
orang pasti dihadapkan dalam sutu pluralisme budaya. Untuk menghadapi hal
tersebut, kita harus mencari sumber agar mengerti dan mendalami suatu budaya,
sehingga kita akan bisa mengambil tindakan untuk mengikuti atau tidak budaya
yang kita hadapi, termasuk tradisi slametan.
DAFTAR PUSTAKA
Comments