Rasulullah dan Pengemis Buta
Rasulullah
dan Pengemis Buta
Di
sebuah sudut Kota Madinah, selalu mangkal seorang pengemis Yahudi buta. Setiap
orang yang mendekati, ia selalu berkata, “Wahai Saudaraku, jangan engkau dekati
Muhammad yang mengaku sebagai Rasul itu. Dia gila, pembohong, dan tukang sihir.
Jika kamu mendekatinya, dia akan memengaruhimu.”
Walau
begitu busuk hati dan perbuatan pengemis itu, setiap pagi Rasulullah selalu
membawakan makanan untuknya. Tanpa berkata, beliau menyuapi pengemis itu.
Rasulullah melakukan hal ini hingga wafat.
Ketika
Abu Bakar berkunjung ke rumah Aisyah, beliau bertanya, “Wahai anakku, adakah
sunah Rasulullah yang belum aku kerjakan?” Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau
ahli sunah, hampir tidak ada sunah yang belum ayah lakukan, kecuali setiap pagi
Rasulullah pergi ke ujung pasar dengan membawa makanan untuk seorang pengemis
Yahudi buta yang berada di sana.”
Keesokan
harinya Abu Bakar pergi ke sudut pasar dengan membawa makanan. Abu Bakar
memberikan makanan kepada sang pengemis. Ketika mulai menyuapi, pengemis marah
sambil berteriak, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa.”
Pengemis membantah, “ Engkau bukan orang yang biasa datang. Apabila orang itu
datang, tanganku tidak susah memegang dan mulutku tidak akan susah mengunyah.
Orang itu selalu menghaluskan makanan terlebih dahulu sebelum menyuapkannya
kepadaku.”
Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya. Ia menangis sambil berkata jujur, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.” Setelah pengemis Yahudi itu mendengar cerita Abu Bakar, ia menangis dan berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi ia tidak pernah memarahiku sedikit pun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia.” Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya masuk Islam dan bersyahadat di hadapan Abu Bakar.
Itulah
salah satu bentuk keagungan seorang Muhammad. Kebaikannya dan ketinggian
akhlaknya tidak terbendung oleh kebencian dan cercaan. Bahkan, beda keyakinan
yang notabene merupakan hal yang paling esensial, menjadi lebur di hadapan
keluhuran hatinya. Ini sebuah cermin dan teladan yang sangat dibutuhkan ketika
saling pengertian, toleransi, dan objektivitas menjadi barang mahal.
Comments