MAKALAH "SISTEM HUKUM INDONESIA"

SISTEM HUKUM INDONESIA


DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI    ........................................................................................................... 
BAB I. PENDAHULUAN     .....................................................................................
          A. Maksud dan Tujuan Penulisan Makalah   ......................................................    
          B. Latar Belakang Masalah   ...............................................................................    
BAB II. PERMASALAHAN .....................................................................................    
BAB III. PEMBAHASAN MASALAH  ..................................................................    
BAB IV. PENUTUP ..................................................................................................         
          A. Kesimpulan ....................................................................................................
          B. Saran  ..............................................................................................................    
DAFTAR PUSTAKA   ..............................................................................................



BAB I
PENDAHULUAN


A.   Maksud Dan Tujuan Penulisan
              Adapun alasan yang membuat penulis mengangkat inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia sebagai judul makalah karena hukum dimata masyarakat saat ini mengalami krisis kredibilitas. Dimana terungkapnya banyak kasus kecurangan dalam penegakan hukum di Indonesia mengarahkan masyarakat berpikir kepada bahwa hukum hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum. Karena hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia. Untuk itu dalam pembuatan makalah ini akan membahas masalah inkosistensi penegakan hukum di Indonesia, faktor – faktor yang mempengaruhinya serta upaya untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.

B.   Latar Belakang Masalah
              Didalam sistem pergaulan hidup, secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan sederajat. Akan tetapi dengan kebebasan tersebut manusia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya terhadap manusia lainnya, karena ada batasan – batasan yang tidak boleh dilanggarnya berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada dasarnya masing – masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai kepentingan yang kadang – kadang sama dan sering pula berbeda. Perbedaan kepentingan ini selanjutnya dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila tidak ada aturan yang dapat menyeimbangkannya. Demi tertib dan teraturnya kelompok masyarakat diperlukan adanya aturan, mulanya disebut kaidah. Jadi dapatlah dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berkeprikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
              Masyarakat dalam pertumbuhannya selalu berkembang, dimulai dari keluarga sebagai masyarakat yang paling kecil atau masyarakat sederhana kemudian berkembang menjadi semakin kompleks atau masyarakat modern. Perkembangan masyarakat tadi pasti dibarengi dengan timbulnya hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem pergaulan hidup anggota – anggotanya. Keberadaan hukum didalamnya adalah sebagai peraturan yang bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan batas – batas hak dan kewajibannya. Mengacu kepada hak dan kewajiban, maka aturan yang paling tepat adalah apa yang dinamakan hukum. Demikian dapat diketahui bahwa hukum dapat mengatur segala kepentingan manusia mulai dari jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya sampai seorang ibu itu meninggal dunia. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Adanya ketimpangan pelaksanaan hukum tersebut maka timbullah pemasalahan hukum di Indonesia. Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari system peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsisten penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyak permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri , keluarga maupun lingkungan terdekatnya yang lain. Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula kita temui dalam media elektronik maupun cetak yang menyangkut tokoh – tokoh masyarakat seperti, pejabat, orang kaya dan lain sebagainya. Akibat yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif atau yang disebut inkonsistensi penegakan hukum adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.


              Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada. Merangkum fenomena diatas, dimana penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik dan efektif tentunya menjadi pemasalahan yang sangat serius, dimana pada pembahasan berikutnya akan lebih dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan inkonsistensi penegakan hukum, akibat yang ditimbulkan dari inkonsistensi penegakan hukum, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi atau menekan seminimal mungkin terjadinya inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.



BAB II
 PERMASALAHAN


       Cita – cita reformasi untuk mendudukan hukum ditempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan – angan. Bila dicermati suramnya wajah hokum merupakan akibat dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang dalam keadaan terhenti dan kalaupun hukum ditegaskan maka penegakannya diskriminatif. Praktik – praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, bahkan kolusi polisi, hakim, advokat dan jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari – hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang 'kumuh' sepeti itu menjadikan hukum dinegeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427 – 347 SM) yang menyatakan bahwa ''hukum adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat''. Sehingga memberikan pertanyaan di benak kita apa yang terjadi di sektor penegakan hukum? Dan ada apa dengan aparat penegak hukum?. Diberbagai kasus ditingkat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan yang berduit, yang tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.
       Kalau dilihat dari struktur negara kita, Indonesia adalah negara hukum tapi kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita. Krisis penegakan hukum telah menjamur di negeri ini. Mungkin ironis sekali jika hal ini menjadikan negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum.Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Namun bagi mereka yang miskin, hukum seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus – kasus besar pelanggaran hukum di tanah air akhir – akhir ini sungguh merisaukan dan dan mengusik rasa keadilan bagi siapa saja yang waras. Kasus century, rusaknya perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus (markus), suap – menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politisi menunjukkan ada yang tidak beres pada penegakan hukum di Indonesia. Dari sekian banyak kasus itu, mencuat kasus – kasus korupsi yang sering melatar belakanginya. Padahal kita semua tahu, hukum adalah salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju peradaban kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri, egois, dan individualis. Jika tidak ada hukum yang mengaturnya, maka akan melahirkan penindasan dan perbudakan modern ditengah masyarakat. Untuk itulah negara kita menciptakan undang – undang. Tapi sayangnya, undang – undang yang dipakai sebagai hukum belum mampu membersihkan koruptor – koruptor dilembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak koruptor yang begitu asyiknya melenggang dan menertawai negeri yang banyak dihuni oleh
orang – orang miskin ini.
       Tercatat, negara ini menempati peringkat kedua dalam hal korupsi di tingkat Asia dan peringkat keenam ditingkat dunia. Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial dilembaga hukum kita. Persoalan itu berupa lemahnya integritas para penegak hukum yang mudah dibeli oleh para mafia hukum dan para koruptor. Semua itu bisa juga terlihat pada munculnya kasus antara lembaga independen KPK dan Polri tempo hari. Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum tentu tidak akan berani menyentuh, sebaliknya bagi mereka yang miskin dan banyak dibelit persoalan ekonomi, hukum seperti tidak mau lagi berkompromi sedikit pun. Drs. IGM. Nurdjana, SH, MH menjelaskan, pertama lemahnya integritas penegakan hokum korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada peraturan perundang – undangan pidana potensi korupsi. Kedua, secara struktur hukum atau kelembagaan terdapat overlapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensial fungsional dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas negatif antara Polri, Jaksa dan KPK serta dilema terbentuknya hakim adhoc. Terakhir, terjadinya kesenjangan dan keterbatasan anggaran sarana dan prasarana sehingga secara cultural hukum menjadi cara dinamis untuk dimanfaatkan sebagai alat pemerkaya diri. Persoalan itu yang membuat para koruptor berteriak kegirangan. Mereka berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat dalam mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim terhadap koruptor tersebut banyak yang hasil akhirnya bebas.
       Selama ini, koruptor yang tertangkap oleh tangan hukum seperti begitu mudah melepaskan diri. Belum pernah tersiar kabar seorang koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati. Karena itu wajar bila korupsi terus meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang dapat membuat koruptor jera. Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman karena dengan banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel berbintang.
Itulah gambaran penegakan hukum dinegeri ini. Padahal telah jelas, unsur – unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan dilakukan oleh pejabat public atau penyelenggara negara maupun masyarakat. Hal tersebut menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Salah satu kecenderungan yang menonjol adalah menguatnya perhatian dan penilaian publik terhadap suatu proses hukum yang dinilai kurang adil. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang bijaksana agar penegakan hukum dinegeri ini memiliki integritas yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Dan solusi seperti apakah yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum?.



BAB III
PEMBAHASAN


       Menurut Drs. Satjipto Rahardjo, SH, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata – mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH , progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selama ini terjadi dinegara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berpikir jernih dan berkesinambungan tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu – satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan didalam kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
       Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut.
Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang – undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
       Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang – undang
     Undang – undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang – undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang – undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
     Asas – asas tersebut antara lain:
     a) Undang – undang tidak berlaku surut.
     b) Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.
     c) Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
     d) Undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan undang – undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
     e) Undang – undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu.
     f) Undang – undang tidak dapat diganggu gugat.
     g) Undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
     Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum. Halangan – halangan tersebut, adalah:
     a) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
     b) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
     c) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
     d) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
     e)  Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan – halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut:
          a)  Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
          b) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
          c) Peka terhadap masalah – masalah yang terjadi disekitarnya.
          d)  Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
          e)  Orientasi kemasa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
          f) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
          g) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
          h) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi didalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
          i)   Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan pihak lain.
          j) Berpegang teguh pada keputusan – keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
          Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hokum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:
     a) Yang tidak ada, diadakan yang baru.
     b) Yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan.
     c) Yang kurang, ditambah.
     d) Yang macet, dilancarkan.
     e) Yang mundur atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
     Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan  engidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
     Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hokum yang berlaku, nilai – nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
     a) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
     b) Nilai jasmani atau kebendaan dan nilai rohani atau keakhlakan.
     c) Nilai kelanggengan atau konservatisme dan nilai kebaharuan atau inovatisme.

     Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa undang – undang, peraturan pemerintah, perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya. Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat. Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture) hukumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
       Salah satu hal yang perlu mendapat sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah sistem peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia. Hal lain yang tak kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan terjadi didalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan dan kebusukan berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau bahkan hilangnya supremasi hukum di negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum.
       Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari seluruh elemen yang ada di negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan hanya hak lembaga – lembaga negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip checks and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi hukum dinegara kita. Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa substansi dan aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M. Friedman menekankan kepada pentingnya budaya hukum (legal culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum yang mendukungnya serupa dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa berenang. Dimana kalau sistem hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut Friedman lagi, jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Ambil contoh mengapa aparatur hukum ada yang tidak taat hukum?. Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal culture), begitu juga ruang lingkup budaya hukum, bila kita ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan – bulanan aparat hukum.
       Demikian juga hal nya, sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan diIndonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
1. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan dilingkungannya.
2.  Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil ketiga.
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif an bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
5   Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.

     Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa – jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai komponen kekuasaan eksekutif dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya sehingga dari perenungan ini diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
     Dan bukan sebagai wakil orang pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya. Kejaksaan adalah merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini. Mengevaluasi atas kinerja yang telah dilaksanakan selama ini. Serta menunjukkan jati diri agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Dalam situasi dan kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis kredibilitas maka sudah sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan. Berbagai institusi bahkan negara manapun pernah mengalami krisis kredibilitas, namun yang terpenting adalah menyikapi dan menghadapinya. Apakah akan bersembunyi dan mengaharap orang akan melupakannya? Ataukah akan berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar terhadap faktor – faktor yang menyebabkan krisis kredibilitas itu terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar yang mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi mendasar diarahkan pada perbaikan serta pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang.

     Termasuk peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan yang sinergis dengan peningkatan integritas, guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan misi kejaksaan, serta selaras pula dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan hukum yang lebih baik kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan integritas harus dapat diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam upaya penegakan hukum dengan memberikan hasil yang nyata. Tidak bersifat retrorika, tetapi secara sungguh – sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat asas, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan tidak diskriminatif. Dengan pelaksanaan tugas secara profesional dan berintegritas, diharapkan dapat memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan dimata masyarakat tahap demi tahap. Berbagai program kegiatan telah ditetapkan dalam pembauran kejaksaan yang memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan tujuan untuk melakukan pembenahan. Baik institusional maupun sumber daya manusia. Salah satu yang diprioritaskan adalah pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia agar dapat mewujudkan aparatur kejaksaan yang profesional dan berintegritas.
     Pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal yang terkait dengan pola jenjang karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula peningkatan kemampuan dan keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Baik yang bersifat manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara. Monitoring dan evaluasi terhadap kinerja para pejabat struktural maupun fungsional akan dilakukan secara berkelanjutan dan dengan komitmen yang tinggi sehingga reward dan punishment dapat diterapkan secara tegas dan tuntas. Kepada jajaran bidang intelejen sebagai bagian dari organisasi diharapkan mampu menghasilkan produk – produk inteljen yang bermanfaat bagi semua bidang. Kepada jajaran bidang pidana umum agar penanganan perkara dan administrasi perkara tindak pidana umum, mulai dari tahap penuntutan, upaya hukum, sampai dengan eksekusi harus benar – benar diperhatikan. Pimpinan unit bersangkutan juga harus selalu melakukan pengawasan melekat secara ketat pada tiap – tiap tahapan dalam penaganan perkara. Begitu juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi perkara secara rutin dan berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara – perkara yang penting dan menarik perhatian masyarakat . Terutama penanganan perkara tindak tindak pidana narkotika dan psikotropika, ilegal logging, terorisme, perbankan, ilegal mining,money loundrying, human trafficking dan kejahatan trans – nasional lainnya. Kepada jajaran bidang tindak pidana khusus, keberhasilan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus diikuti pula dengan penyelamatan dan pengembalian keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut
belum dapat dilakukan, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah sebatas keberhasilan yang terfokus terhadap aspek pemidanaan saja.
     Penulis sebagai bagian anggota dari masyarakat sadar hukum berharap secara positif, di
dalam mengemban profesi, usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur – unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar – benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Disamping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangkat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah maka penegakan hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya. Sebagai warga negara yang mengemban kewajiban dan hak dinegara ini, saya berharap mengenai profesionalisme seorang jaksa seungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan diatas, bahwa antara lain ditangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas yang dimilikinya .








BAB IV
PENUTUP


A.   KESIMPULAN
              Inkonsistensi penegakan hukum diatas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka diluar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkosistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten harus terus di upayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.

B.   SARAN
            Berikut saran yang saya berikan dalam upaya mengembalikan citra penegakan hukum dimata masyarakat yaitu dengan melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada dengan cara:
       1. Struktur, terkait dengan struktur hukum maka perlu dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.
       2   Substansi, dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang – undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang – undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
       3. Legal culture, untuk budaya hukum perlu dikembangkan perilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas. Artinya apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berperilaku taat dan patuh terhadap hukum, dengan hal tersebut maka akan menjadi teladan bagi rakyat.


DAFTAR PUSTAKA



-    Ali, Achmad (1999). Pengadilan Dan Masyarakat. Ujung Pandang: Hasanudin University Press.
-    Doyle, Paul Johnson (1986). Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Alih bahasa oleh Robert M.Z. Jakarta: Gramedia.
-    Soemardi, Dedi (1997). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: IndHillCo.
-    Syamsudin, Amir (2008). Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, Dan Pengacara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
-    Rahardjo, Satjipto (2003). Sisi – Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Medan: Penerbit Buku Kompas.
-    Lemek, Jeremias (2007). Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum DiIndonesia. Jakarta: Galang Press.


Moga bermanfaat...

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH Sejarah Singkat Berdirinya Bengkel

DRAMA SINGKAT 5 ORANG (Menghindari Gibah (Gosip))

ANALISA PELUANG USAHA PERANGKAT KERAS