MAKALAH PARTISIPASI POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
PARTISIPASI politik
sering dianggap sebagai salah satu indikator terpenting berlangsungnya proses
pembangunan politik dan demokrasi suatu negara. Secara dikotomis, Gabriel
Almond menyebut dua macam bentuk partisipasi politik. Pertama, partisipasi
politik konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang ''normal'' dalam
demokrasi modern, seperti pemberian suara (voting), diskusi politik, kampanye,
bergabung dengan interest group, serta komunikasi dengan elite politik. Kedua,
partisipasi politik nonkonvensional adalah bentuk partisipasi politik yang
tidak ''normal'', termasuk di antaranya ada yang legal, nonlegal, keras dan
revolusioner, seperti, pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, aksi mogok,
kekerasan politik dan revolusi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Partisipasi Politik
Secara etimologis,
partisipasi berasal dari bahasa latin pars yang artinya bagian dan capere, yang
artinya mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”. Dalam bahasa Inggris,
participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan.
Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam
aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.
Batasan
partisipasi politik berdasarkan pengertian Huntington dan Nelson
• Partisipasi politik
menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
• Subyek partisipasi
politik adalah warga negara preman (private citizen)atau orang per orang dalam
peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik.
• Kegiatan dalam
partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai
wewenang politik.
• Partisipasi politik
mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu
memunyai efek atau tidak. Partisipasi politik menyangkut partisipasi otonom dan
partisipasi dimobilisasikan
Bentuk partisipasi yang bersifat pasif kurang dihargai oleh masyarakat, tetapi yang bersifat agresif juga banyak mudaratnya. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikatagorikan nonkonvensional dan bersifat agresif adalah
(1) pengajuan petisi
(2) berdemonstrasi
(3) konfrontasi
(4) mogok
(5) tindak kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman, pembakaran
(6) tindakan kekerasan terhadap manusia, penculikan dan pembunuhan, (7) revolusi.
Jika partisipasi bentuk ini yang dipilih jelas tidak ada kedamaian hakiki yang diperoleh. Sudah pasti ada pihak yang dikalahkan (dirugikan), bahkan yang tidak tahu apa-apapun akan terkena imbasnya. Oleh sebab itu, marilah setiap persoalan diselesaikan secara arif, dengan kepala dingin dan tanpa dendam. Hal ini jelas lebih elegan dan bermoral.
Bentuk konvensional :
(1) pemberian suara (voting)
(2) diskusi politik
(3) kegiatan kampanye
(4) bergabung dalam kelompok kepentingan
(5) komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif.
B. Bentuk-bentuk Partisipasi
Politik
A. Berdasarkan kegiatan partisipasi politiknya (Sastroatmodjo;
1995):
• Partisipasi
aktif, WN mengajukan usul kebijakan, mengajukan alternatif kebijakan,
mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.
• Partisipasi
pasif, berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan
setiap keputusan pemerintah
Bentuk partisipasi politik
Bentuk partisipasi politik
Menurut Huntinton & Nelson
(1994:16-17)
1. Kegiatan
pemilihan; memberikan suara, memberikan sumbangan untuk kampanye, mencari
dukungan bagi seorang calon dll.
2. Lobbying;
upaya-upaya untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan
politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil.
3. Kegiatan
organisasi; kegiatan sebagai anggota atau pejabat organisasi yang tujuannya
mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
4. Mencari koneksi, (contacting);
tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan
biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang atau beberapa
orang. Partisipasi ini oleh Verba, Nie dan Kim disebut “mencari koneksi
khusus”/particularized contacting.
Bentuk partisipasi politik
secara hierarkis oleh Rush dan Althoff (1990:124)
• Menduduki
jabatan politik atau administrasi• Mencari jabatan politik atau administrasi
• Keanggotaan
aktif suatu organisasi politik
• Keanggotaan
pasif suatu organisasi politik
• Keanggotaan
aktif suatu organisasi semu politik
• Keanggotaan
pasif suatu organisasi semu politik
• Partisipasi
dalam rapat umum, demonstrasi, dsb
• Partisipasi
dalam diskusi politik informasi, minat umum dalam politik
• Voting
(pemberian suara)
• Apathi
total.
Berdasarkan Jumlah Pelaku
Partisipasi Politik dibedakan
1. Partisipasi
individual, dilakukan oleh orang per orang secara individual
2. Partisipasi
kolektif, dilakukan oleh sejumlah warga negara secara serentak yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif ini dibedakan: partisipasi
kolektif yang konvensional, dan partisipasi politik non-konvensional.
C. Fungsi Partisipasi Politik
Menurut Robert Lane;
1. sebagai
sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi
2. sebagai
sarana untuk memuaskan suatu kebutuhn bagi penyesuaian social
3. sebagai sarana mengejar niai-nilai
khusus.
4. sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.
Menurut Arbi Sanit;
1. Memberikan
dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik
yang dibentuknya.
2. Sebagai
usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah
3. Sebagai
tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannyasehingga diharapkan
terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik
Fungsi Partisipasi Politik bagi Pemerintah
1.
Mendorong program-program pemerintah
2. Sebagai
institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah
dalam mengarahkan dan meninngkatkan pembangunan.
3. Sebagai sarana untuk memberikan
masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan
program-proram pembangunan.
D. Fungsi Partai Politik
1. Sosialisasi
Politik
2. Rekruitmen
Politik
3. Partisipasi
Politik
4. Artikulasi
Kepentingan
5. Pemandu
Kepentingan
6. Komunikasi
Politik
7. Pengendalian
Konflik (Manajemen Konflik)
8. Kontrol
Politik
9. Persuasi
10. Represi
11. Pembuatan Kebijakan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, kelompok-kelompok kepentingan perlu diadakan persuasi oleh elite politik maupun pemerintah dengan menyadarkan mereka untuk menahan diri dan memberikan pemahaman kepada mereka bahwa tindakan-tindakan demonstrasi yang agresif tidak memecahkan masalah, tetapi menimbulkan persoalan baru yang lebih rumit.
Kedua, menanamkan sifat sensivitas yang tinggi terhadap kebutuhan dan tuntutan rakyat (terutama rakyat kelas bawah). Dengan kata lain jangan membiarkan saja tuntutan masyarakat tersebut. Seperti kasus Sutet, elite politik tidak memberi dukungan dan pemerintah tidak respek terhadap persoalan tersebut, akhirnya rakyat yang telah menjahit mulutnya capek sendiri dan melepaskan lagi jahitannya karena takut mati.
Ketiga, pemerintah hendaknya meningkatkan kredibilitas lembaga-lembaga demokrasi yang ada, seperti KPU/KPUD, lembaga pengadilan. Dengan demikian, masyarakat tidak main hakim sendiri dan bertindak brutal.
Keempat, merekrut elite politik yang sudah mapan (establishment). Seperti di (Amerika, Inggris dan Perancis), jabatan-jabatan politik cenderung berasal dari orang-orang yang mempunyai latar belakang kelas menengah atau kelas atas, dan orang-orang yang kelas rendah yang berhasil memperoleh pendidikan.
Kelima, dalam proses pengambilan keputusan politik hendaknya melibatkan masyarakat tingkat bawah dan kelompok-kelompok kecil, yaitu kembali ke masyarakat.
B. Saran
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi sempurnanya penulisan ini.
Comments
thank;s y dah berkunjung
Makanya belajar ..
hehehe
thank's y dah berkunjung
thank's y dah berkunjung
visit back hilatguh.blogspot.com :3
ntar jngan kasih alamatnya y sob..
y bikin skripsi aja lg beray...
tengkyu y dah berkunjung